Frida Kahlo Menuangkan Kesedihan ke Dalam Lukisan

Lukisan adalah suatu karya seni dua dimensi yang menghadirkan subjeknya secara visual, yang bersamaan dengannya pula hadir suatu hal, ide, atau peristiwa familiar yang terkadang tidak memiliki koneksi secara langsung dengan pengalaman kita. Dari yang kita lihat dari lukisan, kita kerap terinspirasi, mendapatkan informasi, serta merasakan kenikmatan dalam bentuk apa pun.[i] Tetapi, kadang pelukis juga menjadikan dirinya sendiri sebagai subjek untuk membahasakan suatu hal yang mungkin melampui keberadaanya secara visual. Dengan kata lain, untuk menyampaikan dirinya bersama perasaan yang sedang dialami, pun terkadang dilakukan sebagai suatu latihan olah komposisi. Van Gogh adalah salah satu pelukis yang melakukan cara kedua, karena ia tidak sanggup untuk membayar model untuk dilukis. Tapi justru berkat itu, potret dirinya tanpa kumis, brewok, dan jambang yang ia kerjakan sebelum meninggal, menjadi karya potret diri paling mahal yang pernah dijual selama ini.[ii] Selain itu, potret diri juga menawarkan pelbagai kemungkinan komunikasi lainnya.


Seorang pelukis mungkin tidak hendak menjadi fotografer ketika melukiskan potret-diri. Cara itu kurang lebih dilakukan pelukis untuk menjadikan lukisan sebagai rekam jejak untuk menampakkan identitas dirinya, seperti yang dilakukan oleh Frida Kahlo[iii]. Ia menjadikan potret diri sebagai lembar dokumen pengejawantahan perasaanya, juga sebagai rekam jejak hidupnya. Tidak kurang dari dua lusin potret-diri telah dibuat oleh pelukis Meksiko ini. Pada setiap periode, berbeda pula kecenderungan corak dari potret dirinya, berbeda pula perasaan yang ingin ia bebaskan dari kepalanya.

Bagaimana Frida menjadikan tumpukan kesedihannya menjadi karya serta latar belakang sosial-ekonomi-politik di balik setiap karyanya, terekam dengan apik dalam film yang disutradarai oleh Julie Taymor berjudul Frida (2002). Film berdurasi selama 123 menit ini dapat dijadikan pengantar untuk mengenal Frida lebih jauh, serta untuk membaca lebih lanjut mengapa ia cenderung melukis potret-diri. Bersama Salma Hayek, kita akan mengenal potret Frida yang emosional.



Alur Film Frida

Dari rumah birunya (Casa Azul) di Coyoacán, beberapa orang dengan begitu hati-hati menggotong tempat tidur yang juga tandu bagi si sakit yang berbaring di atasnya, Frida Kahlo. Mereka berusaha dengan teliti mengantarkannya bersama tempat tidurnya itu ke suatu tempat, pada suatu acara yang tidak ingin dilewatkannya, padahal saat itu ia tengah berjuang menghidupi saat-saat terakhir dalam hidupnya. Dari situlah film ini bermula. Selanjutnya, dari sebuah kaca di atas ranjang Frida, penonton disedot untuk masuk ke dalam cermin yang akan menyorot balik pengalaman kecil Frida dari masa remaja sampai saat itu, ketika ia telah dikenal sebagai pelukis besar dunia.

Frida adalah seorang mahasiswi kampus favorit yang tengah mengalami puncak pubertas. Ia gemar bercinta serta giat dalam berorganisasi. Selanjutnya, plot penentu cerita langsung dihadirkan, kecelakaan dalam angkutan kota yang menimpa Frida kelak akan menjadi penentu hidup si gadis Meksiko yang begairah ini.

Film yang didasarkan pada buku biografi Frida: A Biography of Frida Kahlo (1983) yang ditulis oleh Hayden Herrera ini kemudian mengisahkan perjuangan Frida melewati masa pemulihannya pascakecelakaan yang memberi bekas luka tusukan di punggung, mematahkan tulang punggung serta kaki kanannya. Masa itu adalah awal mula Frida mulai melukis, ayahnya memberi kanvas untuk menangkal kebosanannya.

Setelah sembuh, Frida tidak memikirkan kuliahnya lagi dan ingin melanjutkan proses kreatifnya dalam melukis. Ia memiliki garis darah seni dari ayahnya yang berdarah Jerman, yang pernah bekerja sebagai fotografer. Diego Rivera adalah orang yang ia temui untuk dimintai pendapat, apakah dengan kemampuan serta hasil lukisannya Frida layak untuk lanjut melukis atau berhenti sama sekali. Pelukis komunis Meksiko yang pernah ia rundung saat membuat mural di kampusnya dulu itu mengatakan bahwa Frida perlu melanjutkan kerja keseniannya. Lalu, hubungan keduanya sebagai kolega dalam berkesenian itu pun berlanjut pada sebuah pernikahan. Frida menikah dengan Diego yang telah meninggalkan dua janda.

Kehidupan pasangan ini diselimuti oleh drama perselingkuhan. Diego adalah seorang yang doyan dengan perempuan, terlebih untuk keperluan model untuk lukisan-lukisannya. Frida tahu akan tabiat pelukis tambun itu sebelum menikah. Diego pun juga telah berjanji untuk loyal kepada istrinya yang ia sering ia panggil Fridoca itu. Tetapi, perselingkuhan demi perselingkuhan tidak dapat mereka hindarkan, Frida yang biseksual pun pernah terlibat perselingkuhan dengan seorang perempuan yang juga menjadi selingkuhan Diego pada waktu bersamaan.

Sebagai seorang petinggi partai komunis Meksiko, Diego sering terlibat adu gagasan politik serta komitmen dalam berkesenian. Latar belakang itulah yang membuatnya terbawa dalam serangkaian intrik dan tuduhan dalam politik nasional, yang kelak juga membuatnya dituduh sebagai dalang di balik pembunuhan Leon Trotsky. Ia pun jenuh lalu memilih keluar dari Meksiko dan pergi ke Amerika. Negeri imperialis musuh para negara komunis itu pun menyambut pelukis Kiri terbesar pada masa itu dengan gempita. Suatu tawaran dari Rockefeller dialamatkan kepadanya. Ia diminta untuk membuat sebuah moral di Rockefeller Center. Diego menerima tawaran itu, tetapi ia tidak mau membuang visinya tentang anti privatisasi ekonomi itu.




Sketsa mural yang ia kerjakan untuk Rockefeller itu sebelumnya telah disetujui, tetapi di tengah jalan, lembaga yang belakang diketahui mendukung gerakan antikomunis di seluruh dunia itu meminta Diego untuk mengubah wajah Lennin beserta tokoh komunis lainnya yang ada dalam muralnya. Sebagai orang yang memegang teguh keloyalannya terhadap visi kerakyatan, Diego menolak. Penolakannya itu pun berujung pada demonstrasi orang-orang Amerika yang tidak sepakat dengan komunisme. Setelahnya, datang surat pemberhentian kontrak beserta bayaran penuh seperti yang dijanjikan sebelumnya. Muralnya yang setengah rampung di dinding Rockefeller pun dihancurkan. Diego pun marah besar karena merasa harga dirinya diinjak-injak. Kejadian ini membuatnya menjadi depresi tak karuan. Ia bersama Frida memutuskan untuk kembali ke Meksiko.

Pada masa kejatuhan ini, Frida memergoki suaminya berselingkuh dengan adiknya sendiri. Keduanya terlibat pertengkaran hebat. Karena kejadian ini Frida berubah menjadi seorang alkoholik pemurung. Ia memutuskan pergi ke Paris, Prancis untuk meredakan kemurungannya itu. Tetapi, bertualang tanpa Diego membuatnya kesepian. Sekembalinya ke Meksiko, Diego menawarkan perceraian. Keduanya berpisah.




Perdamaian antara Frida dan Diego terjadi ketika salah satu petinggi Partai Komunis Rusia, yang juga terlibat dalam Revolusi Oktober, Leon Trotsky datang ke Meksiko untuk mencari suaka dari ancaman pembunuhan Stalin. Diego pun membantu menyembunyikan seorang yang disebut Stalin sebagai pengkhianat revolusi ini di rumah Frida. Si kakek komunis tua ini pun menjadi akrab dengan Frida. Meskipun tua, libidonya tetap menyala, terlebih karena kegelisahannya menghadapi ancaman serta bayang-bayang akan kematian, menjadi suatu alasan dari akumulasi libidonya itu. Ia pun terlibat hubungan badan dengan Frida. Kelak, Diego sangat sakit hati karena Frida terlibat main serong dengan orang yang ia kagumi serta hormati. Tetapi, Frida pun membalas. Ia juga ia merasakan hal yang sama ketika memergoki Diego bersetubuh dengan adiknya.




Luka yang ditinggalkan karena kecelakaannya pun membuat Frida menghadapi sisa hidupnya melawani rasa sakit yang sering kambuh dan semakin memburuk. Kaki kanannya juga terpaksa diamputasi karena gangren. Sisa hidupnya kembali dihabiskan di atas kasur. Diego pun datang kembali  untuk mengajaknya rujuk, lalu keduanya bersatu dalam ikatan pernikahan untuk kedua kalinya. Sebelum meninggal, Frida sempat melakukan pameran tunggal di kota asalnya. Pameran ini menjadi sangat penting baginya, karena selama ini ia tidak pernah ingin membuat pameran tunggal di luar negeri, tetapi keinginan terbesarnya adalah dilihat oleh masyarakatnya sendiri. Pelukis wanita yang menggambarkan penderitaannya dengan tajam, tegas, sekaligus lembut yang tak putus dirundung malang, kecelakaan, keguguran, dan lain lain ini pun mangkat dengan sukacita, tulisnya, “I joyfully await the exit – and I hope never to return.”

***

Frida lahir tiga tahun sebelum Revolusi Meksiko, tetapi kelak ia meromantisir hidupnya dengan revolusi itu dengan mengubah tahun lahirnya untuk menepatkan dengan momen itu. Dalam akta kelahirannya ia tercatat lahir pada tanggal 6 Juli 1907, selanjutnya tahun itu diganti menjadi 1910. Revolusi Meksiko adalah suatu momen yang memang bisa jadi kebanggaan bagi Frida untuk menempatkan dirinya dalam gelombang politik yang kelak disebut mempelopori negara lain untuk melakukan hal yang sama. Dalam revolusi, Frida adalah salah satu perempuan Meksiko yang memiliki kesadaran untuk terlibat secara langsung dengan produksi kulturil dalam revolusi itu.[iv]

Gejolak revolusi itu tidak nampak secara gamblang dalam film ini, tetapi dapat dilihat dari bagaimana keluarga Frida mengalami krisis. Ayahnya juga mengalami kesulitan uang ketika Frida harus mengalami masa pengobatan. Ketika ia ingin memotret lagi, melanjutkan pekerjaannya dulu, ia pun sempat ragu bahwa ada yang akan memakai jasanya. Masa revolusi membuat kebanyakan orang tidak mampu mengakses hal-hal yang di luar kebutuhan pangan. Tetapi, Frida tumbuh besar pada masa penataan ulang sebuah sistim pemerintahan yang baru menjanjikan masa depannya beserta anak-anak lain yang sesusianya.

Perubahan saat itu belum terjadi secara keseluruhan, soal kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan misalnya, masih sedikit perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi. Rata-rata mereka hanya sampai sekolah menengah atas saja, Frida adalah salah satu yang beruntung. Ayahnya, Guillermo menyadari kejeniusan anakanya itu dan mengizinkan Frida untuk melanjutkan pendidikan tinggi, ia pun juga membiarkannya bebas memilih, Frida memilih kampus yang rata-rata mahasiswanya adalah laki-laki, ia masuk ke Escuela Nacional Preparatoria (National Preparatory School).

Ia pun juga bertemu dengan seorang peluis besar Meksiko yang memilih meninggalkan gaya lukis kubistiknya dan mencoba menggali akar dari kenyataan sosial di Meksiko waktu itu. Pelukis yang memilih meneruskan jalannya dengan membawa gagasan Revolusi Meksiko itu pun mampu membuat Frida jatuh cinta pada pandangan pertama. Pada saat itu pula Frida bercerita kepada teman-temannya, ia bersumpah bahwa kelak akan menikahi Diego Rivera. Lelaki yang dipujanya itu.

Meningkatnya jumlah pengangguran, kelaparan akibat gagal panen yang melanda Meksiko, dan serangkaian masalah yang diakibatkan oleh sistem ekonomi liberal yang menguntungkan segelintir pihak saja adalah beberapa faktor yang memengaruhi revolusi Meksiko.[v] Jadi tidak heran jika Frida juga terlibat dalam gelombang itu, yang nantinya juga memengaruhi ia untuk terlibat aktif dalam Partai Komunis Meksiko, terlepas juga keterpengaruhan dari Diego Rivera. Agak terlalu menyerdehanakan masalah jika mengaitkan hubungan keduanya terhadap keputusan Frida masuk partai. Frida adalah orang yang memang peka terhadap sekitar dan ia memasuki partai memang karena kesadaran politisnya.

***

Seperti yang telah disinggung dalam penceritaan alur, pada tahun 1933 Nelson Rockefeller mempromosikan Rivera untuk mengerjakan sebuah lukisan mural untuk Rockefeller Center. Memberi dukungan terhadap seniman sayap kiri adalah hal yang umum dikerjakan oleh lembaga filantropi dunia yang juga berada di balik kerja kebudayaan CIA dalam memerangi wacana komunisme dalam Perang Dingin. Tak heran jika ibu Nelson, Abby Aldrich Rockefeller pernah berpendapat bahwa orang merah akan berhenti menjadi merah jika kita bisa mendapatkan pengkuan artistiknya.[vi] Ketika melakukan inspeksi pada lukisan Diego, Nelson Rockefeller yang dalam film diperankan oleh Edward Norton mendapati salah satu figur dalam lukisan itu yang menggambarkan Vladimir Ilich Lenin. Ia meminta Diego untuk menghapus itu, tetapi ditolak oleh Diego. Di dalam film, juga digambarkan bagaimana Diego telah mengatakan bahwa ia adalah seorang pelukis yang pro terhadap hak komunal. Karena penolakannya itulah, pesanan mural untuk tembok Rockefeller Center dibatalkan, Diego dibayar lunas sesuai perjanjian sebesar $21.000. Karya Rivera yang hampir selesai itu dihancurkan pada bulan Februari 1934.   




Film berdurasi 123 menit ini mampu memilih plot-plot penting dalam hidup Frida untuk mengambarkan bagaimana proses perjalanan si pelukis menemukan gaya serta alasan di balik lukisannya yang terkesan sureal itu. Alur sangat padat yang dibangun pun mampu menemukan benang merah yang merangkum seluruh cerita Frida Kahlo tanpa terkesan melompat-lompat, seperti yang sering saya jumpai ketika menonton film biografi murahan, seperti Chrisye kemarin misalnya. Julie Taymor pun tidak menyelesaikannya secara terburu-buru, dibangun dengan tenang meski sangat cepat, film ini mampu menggambarkan semua kesedihan Frida Kahlo yang ia tumpahkan ke dalam setiap lukisannnya. Setiap lukisan yang memiliki jejak sejarah terhadap hidup Frida, dihadirkan sebagai pintu masuk untuk setiap cerita penting yang disajikan.

Tambahannya lagi, film ini juga memberikan kesan sosio-politis yang genit tapi tetap apik. Kita dapat membicarakan semua hal yang berkaitan dengan Frida lewat film ini. Selamat ulang tahun, Frida~






[i] Soal pengertian atau definisi tentang lukisan, lihat W. Stanley Taft and others, The Science of Paintings (New York: Springer, 2000), p. 2.
[ii] Awalnya lukisan potret-diri adalah hal yang tabu dilakukan, tetapi setelah Abad Pencerahan gaya ini menjadi populer, terutama setelah Albrech Duhrer membuat banyak potret diri tentang dirinya. Lihat Kim Hart, ‘10 Masters of the Self-Portrait, from Frida Kahlo to Cindy Sherman’, Artsy, 2018 [diakses 2 Juli 2018].
[iii] Claudia Schaefer, Frida Kahlo: A Biography, Greenwood Biographies (Westport, Conn: Greenwood Press, 2009), hlm 92.
[iv] Mengenai peran perempuan dalam Revolusi Meksiko lihat Tabea Alexa Linhard, Fearless Women in the Mexican Revolution and the Spanish Civil War (Columbia, Mo.: University of Missouri Press, 2005), p. 68.
[v] Lebih lanjut, lihat William H. Beezley and Colin M. Maclachlan, Mexicans in Revolution, 1910-1946: An Introduction (UNP - Nebraska Paperback, 2009), p. 3 .
[vi] Lihat Frances Stonor Saunders, The Cultural Cold War: The CIA and the World of Arts and Letters (New York: New Press : Distributed by W.W. Norton & Co, 2000), p. 258.

Refrensi:

Beezley, William H., and Colin M. Maclachlan, Mexicans in Revolution, 1910-1946: An Introduction (UNP - Nebraska Paperback, 2009)
Hart, Kim, ‘10 Masters of the Self-Portrait, from Frida Kahlo to Cindy Sherman’, Artsy, 2018 [accessed 2 July 2018]
Linhard, Tabea Alexa, Fearless Women in the Mexican Revolution and the Spanish Civil War (Columbia, Mo.: University of Missouri Press, 2005)
Saunders, Frances Stonor, The Cultural Cold War: The CIA and the World of Arts and Letters (New York: New Press : Distributed by W.W. Norton & Co, 2000)
Schaefer, Claudia, Frida Kahlo: A Biography, Greenwood Biographies (Westport, Conn: Greenwood Press, 2009)
Taft, W. Stanley, James W. Mayer, Richard Newman, Dusan Stulik, and Peter Ian Kuniholm, The Science of Paintings (New York: Springer, 2000)

0 comments:

Post a Comment