Lukisan adalah suatu
karya seni dua dimensi yang menghadirkan subjeknya secara visual, yang
bersamaan dengannya pula hadir suatu hal, ide, atau peristiwa familiar yang
terkadang tidak memiliki koneksi secara langsung dengan pengalaman kita. Dari yang kita lihat dari lukisan, kita kerap terinspirasi, mendapatkan
informasi, serta merasakan kenikmatan dalam bentuk apa pun.[i] Tetapi,
kadang pelukis juga menjadikan dirinya sendiri sebagai subjek untuk membahasakan
suatu hal yang mungkin melampui keberadaanya secara visual. Dengan kata lain,
untuk menyampaikan dirinya bersama perasaan yang sedang dialami, pun terkadang
dilakukan sebagai suatu latihan olah komposisi. Van Gogh adalah salah satu
pelukis yang melakukan cara kedua, karena ia tidak sanggup untuk membayar model
untuk dilukis. Tapi justru berkat itu, potret dirinya tanpa kumis, brewok, dan
jambang yang ia kerjakan sebelum meninggal, menjadi karya potret diri paling
mahal yang pernah dijual selama ini.[ii] Selain itu, potret diri juga menawarkan pelbagai
kemungkinan komunikasi lainnya.
Frida Kahlo Menuangkan Kesedihan ke Dalam Lukisan
- By Kelana Wisnu Sapta Nugraha
- On June 18, 2018
- 1 comment
Seorang pelukis mungkin
tidak hendak menjadi fotografer ketika melukiskan potret-diri. Cara itu kurang
lebih dilakukan pelukis untuk menjadikan lukisan sebagai rekam jejak untuk
menampakkan identitas dirinya, seperti yang dilakukan oleh Frida Kahlo[iii].
Ia menjadikan potret diri sebagai lembar dokumen pengejawantahan perasaanya,
juga sebagai rekam jejak hidupnya. Tidak kurang dari dua lusin potret-diri
telah dibuat oleh pelukis Meksiko ini. Pada setiap periode, berbeda pula
kecenderungan corak dari potret dirinya, berbeda pula perasaan yang ingin
ia bebaskan dari kepalanya.
Bagaimana Frida
menjadikan tumpukan kesedihannya menjadi karya serta latar belakang
sosial-ekonomi-politik di balik setiap karyanya, terekam dengan apik dalam film
yang disutradarai oleh Julie Taymor berjudul Frida (2002). Film berdurasi selama 123 menit ini dapat dijadikan
pengantar untuk mengenal Frida lebih jauh, serta untuk membaca lebih lanjut mengapa
ia cenderung melukis potret-diri. Bersama Salma Hayek, kita akan mengenal potret
Frida yang emosional.
Alur Film Frida
Dari rumah birunya (Casa Azul) di Coyoacán,
beberapa orang dengan begitu hati-hati
menggotong tempat tidur yang juga tandu bagi si sakit
yang
berbaring di atasnya, Frida Kahlo. Mereka berusaha dengan
teliti mengantarkannya bersama tempat tidurnya itu ke suatu
tempat, pada suatu acara yang tidak ingin dilewatkannya, padahal saat itu
ia tengah
berjuang menghidupi saat-saat terakhir dalam hidupnya. Dari situlah film
ini bermula.
Selanjutnya, dari sebuah kaca di atas ranjang Frida, penonton disedot
untuk
masuk ke dalam cermin yang akan menyorot balik pengalaman kecil Frida
dari masa
remaja sampai saat itu, ketika ia telah dikenal sebagai pelukis besar
dunia.
Frida adalah seorang mahasiswi kampus favorit yang tengah mengalami puncak pubertas. Ia gemar
bercinta serta giat dalam berorganisasi. Selanjutnya, plot penentu cerita
langsung dihadirkan, kecelakaan dalam angkutan kota yang menimpa Frida kelak
akan menjadi penentu hidup si gadis Meksiko yang begairah ini.
Film yang didasarkan pada
buku biografi Frida: A Biography of Frida
Kahlo (1983) yang ditulis oleh Hayden Herrera ini kemudian mengisahkan perjuangan Frida melewati masa pemulihannya pascakecelakaan yang
memberi bekas luka tusukan di punggung, mematahkan tulang punggung serta kaki
kanannya. Masa itu adalah awal mula Frida mulai melukis, ayahnya memberi kanvas
untuk menangkal kebosanannya.
Setelah sembuh, Frida
tidak memikirkan kuliahnya lagi dan ingin melanjutkan proses kreatifnya dalam
melukis. Ia memiliki garis darah seni dari ayahnya yang berdarah Jerman, yang
pernah bekerja sebagai fotografer. Diego Rivera adalah orang yang ia temui
untuk dimintai pendapat, apakah dengan kemampuan serta hasil lukisannya Frida layak
untuk lanjut melukis atau berhenti sama sekali. Pelukis komunis Meksiko yang
pernah ia rundung saat membuat mural di kampusnya dulu itu mengatakan bahwa
Frida perlu melanjutkan kerja keseniannya. Lalu, hubungan keduanya sebagai
kolega dalam berkesenian itu pun berlanjut pada sebuah pernikahan. Frida
menikah dengan Diego yang telah meninggalkan dua janda.
Kehidupan pasangan ini diselimuti oleh drama perselingkuhan. Diego adalah seorang yang doyan dengan
perempuan, terlebih untuk keperluan model untuk lukisan-lukisannya. Frida tahu
akan tabiat pelukis tambun itu sebelum menikah. Diego pun juga telah berjanji
untuk loyal kepada istrinya yang ia sering ia panggil Fridoca itu. Tetapi,
perselingkuhan demi perselingkuhan tidak dapat mereka hindarkan, Frida yang
biseksual pun pernah terlibat perselingkuhan dengan seorang perempuan yang juga
menjadi selingkuhan Diego pada waktu bersamaan.
Sebagai seorang petinggi
partai komunis Meksiko, Diego sering terlibat adu gagasan politik serta komitmen
dalam berkesenian. Latar belakang itulah yang membuatnya terbawa dalam serangkaian intrik
dan tuduhan dalam politik nasional, yang kelak juga membuatnya dituduh sebagai
dalang di balik pembunuhan Leon Trotsky. Ia pun jenuh lalu memilih keluar dari
Meksiko dan pergi ke Amerika. Negeri imperialis musuh para negara komunis itu pun
menyambut pelukis Kiri terbesar pada masa itu dengan gempita. Suatu tawaran
dari Rockefeller dialamatkan kepadanya. Ia diminta untuk membuat sebuah moral
di Rockefeller Center. Diego menerima tawaran itu, tetapi ia tidak mau membuang
visinya tentang anti privatisasi ekonomi itu.
Sketsa
mural yang ia
kerjakan untuk Rockefeller itu sebelumnya telah disetujui, tetapi di
tengah
jalan, lembaga yang belakang diketahui mendukung gerakan antikomunis di
seluruh
dunia itu meminta Diego untuk mengubah wajah Lennin beserta tokoh
komunis
lainnya yang ada dalam muralnya. Sebagai orang yang memegang teguh
keloyalannya terhadap visi kerakyatan, Diego menolak. Penolakannya itu
pun
berujung pada demonstrasi orang-orang Amerika yang tidak sepakat dengan
komunisme. Setelahnya, datang surat pemberhentian kontrak beserta
bayaran penuh seperti
yang dijanjikan sebelumnya. Muralnya yang setengah rampung di dinding
Rockefeller pun dihancurkan. Diego pun marah besar karena merasa harga
dirinya
diinjak-injak. Kejadian ini membuatnya menjadi depresi tak karuan. Ia
bersama
Frida memutuskan untuk kembali ke Meksiko.
Pada masa kejatuhan ini,
Frida memergoki suaminya berselingkuh dengan adiknya sendiri. Keduanya terlibat
pertengkaran hebat. Karena kejadian ini Frida berubah menjadi seorang alkoholik
pemurung. Ia memutuskan pergi ke Paris, Prancis untuk meredakan kemurungannya
itu. Tetapi, bertualang tanpa Diego membuatnya kesepian. Sekembalinya ke
Meksiko, Diego menawarkan perceraian. Keduanya berpisah.
Perdamaian antara Frida
dan Diego terjadi ketika salah satu petinggi Partai Komunis Rusia, yang juga
terlibat dalam Revolusi Oktober, Leon Trotsky datang ke Meksiko untuk mencari suaka
dari ancaman pembunuhan Stalin. Diego pun membantu menyembunyikan seorang yang
disebut Stalin sebagai pengkhianat revolusi ini di rumah Frida. Si kakek
komunis tua ini pun menjadi akrab dengan Frida. Meskipun tua, libidonya tetap
menyala, terlebih karena kegelisahannya menghadapi ancaman serta bayang-bayang
akan kematian, menjadi suatu alasan dari akumulasi libidonya itu. Ia pun
terlibat hubungan badan dengan Frida. Kelak, Diego sangat sakit hati karena
Frida terlibat main serong dengan orang yang ia kagumi serta hormati. Tetapi,
Frida pun membalas. Ia juga ia merasakan hal yang sama ketika memergoki Diego bersetubuh dengan adiknya.
Luka yang ditinggalkan
karena kecelakaannya pun membuat Frida menghadapi sisa hidupnya melawani rasa
sakit yang sering kambuh dan semakin memburuk. Kaki kanannya juga terpaksa
diamputasi karena gangren. Sisa hidupnya kembali dihabiskan di atas kasur.
Diego pun datang kembali untuk
mengajaknya rujuk, lalu keduanya bersatu dalam ikatan pernikahan untuk kedua
kalinya. Sebelum meninggal, Frida sempat melakukan pameran tunggal di kota
asalnya. Pameran ini menjadi sangat penting baginya, karena selama ini ia tidak
pernah ingin membuat pameran tunggal di luar negeri, tetapi keinginan
terbesarnya adalah dilihat oleh masyarakatnya sendiri. Pelukis wanita yang
menggambarkan penderitaannya dengan tajam, tegas, sekaligus lembut yang tak
putus dirundung malang, kecelakaan, keguguran, dan lain lain ini pun mangkat
dengan sukacita, tulisnya, “I
joyfully await the exit – and I hope never to return.”
***
Frida lahir tiga tahun sebelum Revolusi Meksiko, tetapi
kelak ia
meromantisir hidupnya dengan revolusi itu dengan mengubah
tahun lahirnya untuk menepatkan dengan momen itu. Dalam akta kelahirannya ia
tercatat lahir pada tanggal 6 Juli 1907, selanjutnya tahun itu diganti menjadi
1910. Revolusi Meksiko adalah suatu momen yang memang bisa jadi kebanggaan bagi
Frida untuk menempatkan dirinya dalam gelombang politik yang kelak disebut mempelopori negara
lain untuk melakukan hal yang sama. Dalam revolusi, Frida adalah
salah satu perempuan Meksiko yang memiliki kesadaran untuk terlibat
secara langsung dengan produksi kulturil dalam revolusi itu.[iv]
Gejolak revolusi itu tidak nampak secara gamblang
dalam film ini, tetapi dapat dilihat dari bagaimana keluarga Frida mengalami
krisis. Ayahnya juga mengalami kesulitan uang ketika Frida harus mengalami masa
pengobatan. Ketika ia ingin memotret lagi, melanjutkan pekerjaannya dulu, ia
pun sempat ragu bahwa ada yang akan memakai jasanya. Masa revolusi membuat
kebanyakan orang tidak mampu mengakses hal-hal yang di luar kebutuhan pangan. Tetapi, Frida tumbuh besar pada masa penataan
ulang sebuah sistim pemerintahan yang baru menjanjikan masa depannya beserta anak-anak
lain yang sesusianya.
Perubahan
saat itu belum terjadi secara keseluruhan, soal kesetaraan dalam mendapatkan
pendidikan misalnya, masih sedikit perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi.
Rata-rata mereka hanya sampai sekolah menengah atas saja, Frida adalah salah
satu yang beruntung. Ayahnya, Guillermo menyadari kejeniusan anakanya itu dan
mengizinkan Frida untuk melanjutkan pendidikan tinggi, ia pun juga
membiarkannya bebas memilih, Frida memilih kampus yang rata-rata mahasiswanya
adalah laki-laki, ia masuk ke Escuela Nacional
Preparatoria (National Preparatory School).
Ia pun
juga bertemu dengan seorang peluis besar Meksiko yang memilih meninggalkan gaya
lukis kubistiknya dan mencoba menggali akar dari kenyataan sosial di Meksiko
waktu itu. Pelukis yang memilih meneruskan jalannya dengan membawa gagasan
Revolusi Meksiko itu pun mampu membuat Frida jatuh cinta pada pandangan
pertama. Pada saat itu pula Frida bercerita kepada teman-temannya, ia bersumpah
bahwa kelak akan menikahi Diego Rivera. Lelaki yang dipujanya itu.
Meningkatnya jumlah pengangguran, kelaparan akibat
gagal panen yang melanda Meksiko, dan serangkaian masalah yang diakibatkan oleh
sistem ekonomi liberal yang menguntungkan segelintir pihak saja adalah beberapa
faktor yang memengaruhi revolusi Meksiko.[v] Jadi tidak
heran jika Frida juga terlibat dalam gelombang itu, yang nantinya juga memengaruhi ia untuk
terlibat aktif dalam Partai Komunis Meksiko, terlepas juga keterpengaruhan dari
Diego Rivera. Agak terlalu menyerdehanakan masalah jika mengaitkan hubungan keduanya
terhadap keputusan Frida masuk partai. Frida adalah orang yang memang peka
terhadap sekitar dan ia memasuki partai memang karena kesadaran politisnya.
***
Seperti
yang telah disinggung dalam penceritaan alur, pada tahun 1933 Nelson
Rockefeller mempromosikan Rivera untuk mengerjakan sebuah lukisan mural untuk
Rockefeller Center. Memberi dukungan terhadap seniman sayap kiri adalah hal
yang umum dikerjakan oleh lembaga filantropi dunia yang juga berada di balik
kerja kebudayaan CIA dalam memerangi wacana komunisme dalam Perang Dingin. Tak
heran jika ibu Nelson, Abby Aldrich Rockefeller pernah berpendapat bahwa orang
merah akan berhenti menjadi merah jika kita bisa mendapatkan pengkuan
artistiknya.[vi] Ketika
melakukan inspeksi pada lukisan Diego, Nelson Rockefeller yang dalam film
diperankan oleh Edward Norton mendapati salah satu figur dalam lukisan itu
yang menggambarkan Vladimir Ilich Lenin. Ia meminta Diego untuk menghapus itu,
tetapi ditolak oleh Diego. Di dalam film, juga digambarkan bagaimana Diego
telah mengatakan bahwa ia adalah seorang pelukis yang pro terhadap hak komunal.
Karena penolakannya itulah, pesanan mural untuk tembok Rockefeller Center
dibatalkan, Diego dibayar lunas sesuai perjanjian sebesar $21.000. Karya Rivera
yang hampir selesai itu dihancurkan pada bulan Februari 1934.
Film
berdurasi 123 menit ini mampu memilih plot-plot penting dalam hidup Frida untuk
mengambarkan bagaimana proses perjalanan si pelukis menemukan gaya serta alasan
di balik lukisannya yang terkesan sureal itu. Alur sangat padat yang dibangun
pun mampu menemukan benang merah yang merangkum seluruh cerita Frida Kahlo
tanpa terkesan melompat-lompat, seperti yang sering saya jumpai ketika menonton
film biografi murahan, seperti Chrisye
kemarin misalnya. Julie Taymor pun tidak menyelesaikannya secara terburu-buru,
dibangun dengan tenang meski sangat cepat, film ini mampu menggambarkan semua
kesedihan Frida Kahlo yang ia tumpahkan ke dalam setiap lukisannnya. Setiap
lukisan yang memiliki jejak sejarah terhadap hidup Frida, dihadirkan sebagai
pintu masuk untuk setiap cerita penting yang disajikan.
Tambahannya
lagi, film ini juga memberikan kesan sosio-politis yang genit tapi tetap apik. Kita
dapat membicarakan semua hal yang berkaitan dengan Frida lewat film ini. Selamat
ulang tahun, Frida~
[i] Soal pengertian
atau definisi tentang lukisan, lihat W. Stanley Taft and others, The Science of Paintings
(New York: Springer, 2000), p. 2.
[ii] Awalnya lukisan potret-diri adalah
hal yang tabu dilakukan, tetapi setelah Abad Pencerahan gaya ini menjadi
populer, terutama setelah Albrech Duhrer membuat banyak potret diri tentang
dirinya. Lihat Kim Hart,
‘10 Masters of the Self-Portrait, from Frida Kahlo to Cindy Sherman’, Artsy,
2018
[diakses 2 Juli 2018].
[iii] Claudia
Schaefer, Frida Kahlo: A Biography, Greenwood Biographies (Westport,
Conn: Greenwood Press, 2009), hlm 92.
[iv] Mengenai peran perempuan dalam
Revolusi Meksiko lihat Tabea Alexa Linhard, Fearless Women in the Mexican
Revolution and the Spanish Civil War (Columbia, Mo.: University of Missouri
Press, 2005), p. 68.
[v] Lebih lanjut, lihat William H.
Beezley and Colin M. Maclachlan, Mexicans in Revolution, 1910-1946: An
Introduction (UNP - Nebraska Paperback, 2009), p. 3
.
[vi] Lihat Frances Stonor Saunders, The
Cultural Cold War: The CIA and the World of Arts and Letters (New York: New
Press : Distributed by W.W. Norton & Co, 2000), p. 258.
Refrensi:
Beezley,
William H., and Colin M. Maclachlan, Mexicans in Revolution, 1910-1946: An
Introduction (UNP - Nebraska Paperback, 2009)
Hart, Kim, ‘10 Masters of the
Self-Portrait, from Frida Kahlo to Cindy Sherman’, Artsy, 2018
[accessed 2 July 2018]
Linhard, Tabea Alexa, Fearless Women in the Mexican Revolution and
the Spanish Civil War (Columbia, Mo.: University of Missouri Press, 2005)
Saunders, Frances Stonor, The Cultural Cold War: The CIA and the
World of Arts and Letters (New York: New Press : Distributed by W.W. Norton
& Co, 2000)
Schaefer, Claudia, Frida Kahlo: A Biography, Greenwood
Biographies (Westport, Conn: Greenwood Press, 2009)
Taft, W. Stanley, James W. Mayer, Richard Newman, Dusan Stulik, and
Peter Ian Kuniholm, The Science of Paintings (New York: Springer, 2000)
Wah keren.. semangat terus berkarya.. salam dari saya sebagai fotografer
ReplyDelete