Judul buku: Mencoba Tidak Menyerah
Mencoba Tidak Menyerah mengunakan sudut pandang anak-anak yang berumur 11 tahun, setara dengan umur Yudhistira pada tahun 1965. Awalnya novel ini berjudul Aku Bukan Komunis dan pernah memenangkan hadiah Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1977. Yudhistira ANM Massardi yang sebelumnya hadir dengan tema-tema kisah cinta remaja yang ringan, lincah, jenaka, dan sarkastik itu kini menampilkan sebuah potret dari seorang anak yang melihat dan mengalami peristiwa politik besar '65. (Scherer, 1981)
Penulis: Yudhistira ANM
Massardi
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun terbit: 1996
Tema
tentang '65 tidak begitu susah untuk ditemukan dalam karya sastra
Indonesia, yang susah adalah menemukan keberpihakan narasi cerita pada
korban. Dan tidak hadirnya cerita kekerasan
yang menimpa kaum komunis pada
rentang tahun 1965-1966, semasa pembantai PKI dalam sastra Indonesia adalah karena
para penulis yang eksis setelah peristiwa gonjang-ganjing tersebut adalah para sastrawan
penandatangan Manifes Kebudayaan yang sebelumnya berpolemik dengan sastrawan
Lekra yang dituduh berafiliasi dengan PKI. Mereka membawa trauma pribadi maupun
kolektif karena merasa diserang oleh Lekra. (Foulcher, 1990: 102). Karena sejak
didengungkan "politik sebagai panglima" oleh Lekra yang berdiri pada
17 Agustus 1950–pengertian sastra yang baik, sastra yang indah, mengalami
reduksi. Dalam pandangan sastrawan Lekra, sastra yang indah adalah karya sastra
yang mengangkat tema-tema yang bisa dipahami rakyat, karya yang bisa dimengerti
petani dan buruh, serta memberi atau membangkitkan semangat hidup mereka
(Budiman, 2006 dalam Sambodja, 2011). Walaupun pendapat ini masih bisa untuk diperdebatkan lebih jauh.
Cerita-cerita kekerasan
terhadap kaum komunis pada 1965-1966 semisal "Pada Titik Kulminasi," karya Satyagraha Hoerip bercerita tentang
seorang tokoh kebudayaan anti-komunis bernama Soes yang mengalami dilema
psikologis ketika terjadi perburuan besar-besaran terhadap kaum komunis di
kampungnya pada 1965-1966 menurut Wijaya Herlambang, dengan menggunakan konsep
Galtung tentang kekerasan budaya, bagaimana poduk-produk kebudayaan
dimanfaatkan untuk melegitimasi kekerasan adalah bentuk justifikasi atas
kekerasan yang dialami kaum komunis, dengan cara memanipulasi gagasan humanisme
yang didasarkan pada konflik psikologis para tokohnya, untuk membuat pembaca bersimpati
kepada para pembunuh ketimbang korbannya (Herlambang, 2013: 103). Sementara itu
tidak ada narasi yang menceritakan tentang kekerasan yang menimpa kaum komunis.
Narasi itu baru muncul pada paruh kedua '70-an salah satunya lewat novel Mencoba Tidak Menyerah (Foulcher,
1990: 102).
Mencoba Tidak Menyerah mengunakan sudut pandang anak-anak yang berumur 11 tahun, setara dengan umur Yudhistira pada tahun 1965. Awalnya novel ini berjudul Aku Bukan Komunis dan pernah memenangkan hadiah Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1977. Yudhistira ANM Massardi yang sebelumnya hadir dengan tema-tema kisah cinta remaja yang ringan, lincah, jenaka, dan sarkastik itu kini menampilkan sebuah potret dari seorang anak yang melihat dan mengalami peristiwa politik besar '65. (Scherer, 1981)
Dibuka dengan “Aku” yang
gelisah karena bapaknya telah hilang. Ia adalah anak keenam dalam keluarga itu.
Bapaknya adalah simpatisan komunis, dapat dilihat dari koran-koran yang
dijajakan oleh “Aku” untuk menambah uang jajan sekolahnya, yakni Warta Bakti dan Harian Rakyat. Tidak heran jika nanti bapaknya ikut “diamankan” saat
penghancuran PKI dimulai.
Pada bagian awal diceritakan bahwa ibunya tengah mengandung calon
adiknya. Keluarga tokoh utama adalah keluarga pekerja keras, bapaknya seorang
tukang bengkel kenamaan di kota dan ibunya membuka warung makan di rumah. Di
sisi lain, bapak tokoh utama juga memiliki koperasi yang bertugas menyalurkan
bantuan berupa beras, dan kebutuhan pokok lainnya ke desa-desa. Alasan itu
pulalah yang membuat bapak si “Aku” dituduh melakukan tindak kriminal, ia
dituduh menimbun barang-barang tersebut untuk kekayaanya sendiri. Tapi itu hanyalah
dalil untuk menangkap dan secara sah menjarah serta menghancurkan rumah
keluarga “Aku” pada “malam yang tidak diinginkan”.
Latar belakang itu pulalah
menyebabkan “aku” yang saat itu masih berusia sebelas tahun dan duduk di kelas
5 sekolah dasar ikut bekerja membantu bapaknya. Pekerjaan itu awalnya dilakukan
olehnya karena terpaksa. Bapaknya adalah tipe orang yang keras, jika perintahnya
dihiraukan maka ia tak segan untuk memukul dan tidak memberikan uang saku. Oleh
karena itu “aku” sempat tidak suka dengan sifat dan sosok bapak, bahkan untuk
meminta uang saku ia harus melakukan sebuah pekerjaan dahulu.
Untuk menambah uang jajan, “aku”
meloper koran Harian Rakyat dan Warta Bakti dan kebetulan pula
keluarganya adalah salah satu agen koran di kota kabupaten kecil yang tak
disebutkan, yang terdiri dari dua puluh desa. Ia melakukan pekerjaan itu
sepulang sekolah. Meloper kedua koran itu benar-benar menambah uang saku tokoh
utama. “Aku” mulai suka bekerja, dan ia mulai merasa bahagia hidup di tengah
keluarga pekerja keras. Akan tetapi, kebagiaannya itu tidak berlangsung lama.
Pada bulan Oktober 1965 yang
bertepatan dengan bulan Ramadan, Gestok meletus. Rumah keluarga “Aku” diobrak-abrik
dan dihancurkan oleh orang-orang yang ikut dalam pembasmian PKI, setelah itu
bapaknya menghilang, dan diketahui bapaknya ditangkap lalu ditahan di kodim
karena dicurigai ikut membantu PKI dalam menimbun bahan pokok untuk disalurkan
sama rata ke kampung-kampung.
Keluarga tersebut kehilangan
kepala keluarga. Modal dan alat usaha yang telah hilang bersamaan dengan rumah yang
juga dihancurkan membuat mereka memutar otak untuk bertahan hidup. Keluarga itu
dipinjami sebuah rumah milik sahabat ayahnya. Di rumah itu mereka berusaha
untuk tidak menyerah menghadapi situasi yang pelik dan mulai berusaha. Ibunya
berjualan roti milik temannya yang dulu pernah ia bantu, kakaknya menjadi
pelayan di toko, “Aku” bersama kakak perempuannya berjualan foto Soekarno dalam
pigora tetapi tidak laku-laku. Pada akhirnya mereka berhenti dari pekerjaan
tersebut dan memilih bekerja menimba air pada seorang Tionghoa kenalan ibunya.
“Aku” merasa pekerjaan itu
secara tidak langsung memperbudaknya karena nilai yang tidak setimpal. Ia
keluar. Lalu ia memilih untuk mendirikan bengkel di rumahnya menggunakan sisa
peralatan bapaknya. Ibunya pun membuka warung nasi pecel, dan tidak bertahan lama
karena barang jualannya lebih banyak masuk ke perut sendiri. Modal pun jadi
menipis.
Di tengah keadaan itu mereka
menyisakan uang untuk menjenguk sang ayah, yang setiap beberapa bulan berpindah
dari penjara ke penjara. Mereka pada akhirnya mengurangi intensitas jengukan
karena anak dalam kandungan sang ibu telah lahir dan membutuhkan biaya untuk
membeli susu. Penjara ayahnya berpindah lebih jauh dan membutuhkan ongkos yang
cukup dalam untuk mencapainya.
Tiba-tiba jejak ayah hilang, ia
dipindahkan tetapi tidak disebutkan di mana penjaranya. Semangat kerja keluarga
itu menurun karena kabar tersebut. Kejadian itu membuat perasaan “Aku” terhadap
bapaknya berubah, ia melihat bahwa ketekunan dan kekerasan sang ayah menjadi
hal yang wajar, dan ia tengah kehilangan temannya yang kuat. Ia merasa bahwa
sang ayah seperti Old Shatterhand dalam karangan Petualangan Winnetou karangan Karl May. Ia seperti Winnetou
yang cengeng. Ayahnya sempat pulang tetapi “hilang” lagi, dan “Aku” merasa
bahwa sang ayah dibunuh dan dibuang di suatu tempat.
Novel ini mencoba menceritakan
dengan sederhana dampak dari Gestok lewat pandangan seorang anak yang naif
serta usaha keluarga tersebut dalam menghadapi kepelikan karena hancurnya
ekonomi. Narasi inilah yang menjadi bagian penting dalam kesastraan Indonesia ’70-an
yang mulai berani mendobrak bungkamnya para sastrawan Indonesia sebelumnya
terhadap pembantain 1965-1966 terhadap kaum komunis. Yudhis berhasil
mengabarkan peristiwa mengerikan itu lewat sudut pandang anak-anak, yang masih
memiliki konflik emosional yang begitu kuat, dan ketenangan pikir yang
terbatas. Sehingga pergulatan ideologi tidak tampak sama sekali, yang membuat
karya ini lolos dari sensor Orde Bau.
Sumber Acuan:
Foulcher, Keith. 1990.
"Making History: Recent Indonesia Literature and the Event of 1965",
dalam Indonesian
Killings of 1960-1966. (ed. Robert Cribb). Melbourne: Monash University
Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965:
Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Antikomunisme Melalui Sastra dan Film. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Sambodja, Asep. 2011. Asep Sambodja Menulis: Tentang
Sastra Indonesia dan Pengarang-pengarang Lekra. Bandung: Ultimus
Schrer, Savitri. 1981. "Yudhistira Ardi Noegraha: Social
Attitudes in the Works of Popular Writer" dalam Indonesia no. 31 (April).
Ithaca: Cornell University.
0 comments:
Post a Comment