Mencoba Tidak Menyerah - Yudhistira ANM Massardi

 

Judul buku: Mencoba Tidak Menyerah
Penulis: Yudhistira ANM Massardi
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun terbit: 1996


Tema tentang '65 tidak begitu susah untuk ditemukan dalam karya sastra Indonesia, yang susah adalah menemukan keberpihakan narasi cerita pada korban. Dan tidak hadirnya cerita kekerasan yang menimpa kaum komunis pada rentang tahun 1965-1966, semasa pembantai PKI dalam sastra Indonesia adalah karena para penulis yang eksis setelah peristiwa gonjang-ganjing tersebut adalah para sastrawan penandatangan Manifes Kebudayaan yang sebelumnya berpolemik dengan sastrawan Lekra yang dituduh berafiliasi dengan PKI. Mereka membawa trauma pribadi maupun kolektif karena merasa diserang oleh Lekra. (Foulcher, 1990: 102). Karena sejak didengungkan "politik sebagai panglima" oleh Lekra yang berdiri pada 17 Agustus 1950–pengertian sastra yang baik, sastra yang indah, mengalami reduksi. Dalam pandangan sastrawan Lekra, sastra yang indah adalah karya sastra yang mengangkat tema-tema yang bisa dipahami rakyat, karya yang bisa dimengerti petani dan buruh, serta memberi atau membangkitkan semangat hidup mereka (Budiman, 2006 dalam Sambodja, 2011). Walaupun pendapat ini masih bisa untuk diperdebatkan lebih jauh. 

Cerita-cerita kekerasan terhadap kaum komunis pada 1965-1966 semisal "Pada Titik Kulminasi,"  karya Satyagraha Hoerip bercerita tentang seorang tokoh kebudayaan anti-komunis bernama Soes yang mengalami dilema psikologis ketika terjadi perburuan besar-besaran terhadap kaum komunis di kampungnya pada 1965-1966 menurut Wijaya Herlambang, dengan menggunakan konsep Galtung tentang kekerasan budaya, bagaimana poduk-produk kebudayaan dimanfaatkan untuk melegitimasi kekerasan adalah bentuk justifikasi atas kekerasan yang dialami kaum komunis, dengan cara memanipulasi gagasan humanisme yang didasarkan pada konflik psikologis para tokohnya, untuk membuat pembaca bersimpati kepada para pembunuh ketimbang korbannya (Herlambang, 2013: 103). Sementara itu tidak ada narasi yang menceritakan tentang kekerasan yang menimpa kaum komunis. Narasi itu baru muncul pada paruh kedua '70-an salah satunya lewat novel Mencoba Tidak Menyerah (Foulcher, 1990: 102).

Mencoba Tidak Menyerah
 mengunakan sudut pandang anak-anak yang berumur 11 tahun, setara dengan umur Yudhistira pada tahun 1965. Awalnya novel ini berjudul Aku Bukan Komunis dan pernah memenangkan hadiah Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1977. Yudhistira ANM Massardi yang sebelumnya hadir dengan tema-tema kisah cinta remaja yang ringan, lincah, jenaka, dan sarkastik itu kini menampilkan sebuah potret dari seorang anak yang melihat dan mengalami peristiwa politik besar '65. (Scherer, 1981)






Dibuka dengan “Aku” yang gelisah karena bapaknya telah hilang. Ia adalah anak keenam dalam keluarga itu. Bapaknya adalah simpatisan komunis, dapat dilihat dari koran-koran yang dijajakan oleh “Aku” untuk menambah uang jajan sekolahnya, yakni Warta Bakti dan Harian Rakyat. Tidak heran jika nanti bapaknya ikut “diamankan” saat penghancuran PKI dimulai.

Pada bagian awal diceritakan bahwa ibunya tengah mengandung calon adiknya. Keluarga tokoh utama adalah keluarga pekerja keras, bapaknya seorang tukang bengkel kenamaan di kota dan ibunya membuka warung makan di rumah. Di sisi lain, bapak tokoh utama juga memiliki koperasi yang bertugas menyalurkan bantuan berupa beras, dan kebutuhan pokok lainnya ke desa-desa. Alasan itu pulalah yang membuat bapak si “Aku” dituduh melakukan tindak kriminal, ia dituduh menimbun barang-barang tersebut untuk kekayaanya sendiri. Tapi itu hanyalah dalil untuk menangkap dan secara sah menjarah serta menghancurkan rumah keluarga “Aku” pada “malam yang tidak diinginkan”.

Latar belakang itu pulalah menyebabkan “aku” yang saat itu masih berusia sebelas tahun dan duduk di kelas 5 sekolah dasar ikut bekerja membantu bapaknya. Pekerjaan itu awalnya dilakukan olehnya karena terpaksa. Bapaknya adalah tipe orang yang keras, jika perintahnya dihiraukan maka ia tak segan untuk memukul dan tidak memberikan uang saku. Oleh karena itu “aku” sempat tidak suka dengan sifat dan sosok bapak, bahkan untuk meminta uang saku ia harus melakukan sebuah pekerjaan dahulu.

Untuk menambah uang jajan, “aku” meloper koran Harian Rakyat dan Warta Bakti dan kebetulan pula keluarganya adalah salah satu agen koran di kota kabupaten kecil yang tak disebutkan, yang terdiri dari dua puluh desa. Ia melakukan pekerjaan itu sepulang sekolah. Meloper kedua koran itu benar-benar menambah uang saku tokoh utama. “Aku” mulai suka bekerja, dan ia mulai merasa bahagia hidup di tengah keluarga pekerja keras. Akan tetapi, kebagiaannya itu tidak berlangsung lama.

Pada bulan Oktober 1965 yang bertepatan dengan bulan Ramadan, Gestok meletus. Rumah keluarga “Aku” diobrak-abrik dan dihancurkan oleh orang-orang yang ikut dalam pembasmian PKI, setelah itu bapaknya menghilang, dan diketahui bapaknya ditangkap lalu ditahan di kodim karena dicurigai ikut membantu PKI dalam menimbun bahan pokok untuk disalurkan sama rata ke kampung-kampung.

Keluarga tersebut kehilangan kepala keluarga. Modal dan alat usaha yang telah hilang bersamaan dengan rumah yang juga dihancurkan membuat mereka memutar otak untuk bertahan hidup. Keluarga itu dipinjami sebuah rumah milik sahabat ayahnya. Di rumah itu mereka berusaha untuk tidak menyerah menghadapi situasi yang pelik dan mulai berusaha. Ibunya berjualan roti milik temannya yang dulu pernah ia bantu, kakaknya menjadi pelayan di toko, “Aku” bersama kakak perempuannya berjualan foto Soekarno dalam pigora tetapi tidak laku-laku. Pada akhirnya mereka berhenti dari pekerjaan tersebut dan memilih bekerja menimba air pada seorang Tionghoa kenalan ibunya.

“Aku” merasa pekerjaan itu secara tidak langsung memperbudaknya karena nilai yang tidak setimpal. Ia keluar. Lalu ia memilih untuk mendirikan bengkel di rumahnya menggunakan sisa peralatan bapaknya. Ibunya pun membuka warung nasi pecel, dan tidak bertahan lama karena barang jualannya lebih banyak masuk ke perut sendiri. Modal pun jadi menipis.

Di tengah keadaan itu mereka menyisakan uang untuk menjenguk sang ayah, yang setiap beberapa bulan berpindah dari penjara ke penjara. Mereka pada akhirnya mengurangi intensitas jengukan karena anak dalam kandungan sang ibu telah lahir dan membutuhkan biaya untuk membeli susu. Penjara ayahnya berpindah lebih jauh dan membutuhkan ongkos yang cukup dalam untuk mencapainya.

Tiba-tiba jejak ayah hilang, ia dipindahkan tetapi tidak disebutkan di mana penjaranya. Semangat kerja keluarga itu menurun karena kabar tersebut. Kejadian itu membuat perasaan “Aku” terhadap bapaknya berubah, ia melihat bahwa ketekunan dan kekerasan sang ayah menjadi hal yang wajar, dan ia tengah kehilangan temannya yang kuat. Ia merasa bahwa sang ayah seperti Old Shatterhand dalam karangan Petualangan Winnetou karangan Karl May. Ia seperti Winnetou yang cengeng. Ayahnya sempat pulang tetapi “hilang” lagi, dan “Aku” merasa bahwa sang ayah dibunuh dan dibuang di suatu tempat.

Novel ini mencoba menceritakan dengan sederhana dampak dari Gestok lewat pandangan seorang anak yang naif serta usaha keluarga tersebut dalam menghadapi kepelikan karena hancurnya ekonomi. Narasi inilah yang menjadi bagian penting dalam kesastraan Indonesia ’70-an yang mulai berani mendobrak bungkamnya para sastrawan Indonesia sebelumnya terhadap pembantain 1965-1966 terhadap kaum komunis. Yudhis berhasil mengabarkan peristiwa mengerikan itu lewat sudut pandang anak-anak, yang masih memiliki konflik emosional yang begitu kuat, dan ketenangan pikir yang terbatas. Sehingga pergulatan ideologi tidak tampak sama sekali, yang membuat karya ini lolos dari sensor Orde Bau.

Sumber Acuan:

Foulcher, Keith. 1990. "Making History: Recent Indonesia Literature and the Event of 1965", dalam Indonesian Killings of 1960-1966. (ed. Robert Cribb). Melbourne: Monash University
Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Antikomunisme Melalui Sastra dan Film. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Sambodja, Asep. 2011. Asep Sambodja Menulis: Tentang Sastra Indonesia dan Pengarang-pengarang Lekra. Bandung: Ultimus
Schrer, Savitri. 1981. "Yudhistira Ardi Noegraha: Social Attitudes in the Works of Popular Writer" dalam Indonesia no. 31 (April). Ithaca: Cornell University.




0 comments:

Post a Comment