Gairah untuk Hidup dan untuk Mati - Nasjah Djamin

Judul Buku: Gairah untuk Hidup dan untuk Mati
Penulis: Nasjah Djamin
Penerbit: Pustaka Jaya
Cetakan: 1976, cetakan kedua





“Kita harus bertarung sebagai di medan perjudian bukan? Untuk menyalakan terus hidup ini agar tetap bergairah.” – Nasjah Djamin

Melalui sebuah surat yang panjang, Fuyuko menceritakan mengenai alasannya untuk membangkitkan gairah hidup orang lain yang ia cintai sekaligus keinginannya untuk mati. Gairah untuk Hidup dan untuk Mati bercerita mengenai lika-liku kehidupan orang Jepang yang absurd pasca perang dunia kedua lewat kisah hidup Fuyuko, Shimada, Yun, Tamura, Fukuda, Masako  yang dikisahkan dalam surat Fuyuko dan dibacakan selama tiga hari tiga malam.

Perang mengakibatkan runtuhnya moral dan segala harapan dalam masyarakat. Hilangnya segala sesuatu dari hidup karena perang tersebut membuat manusia telantar, dan menyebabkan setiap individu menanyakan kembali apakah hidup masih layak dijalani? Keputusasaan tersebut tak jarang mengakibatkan seseorang mencari suatu tempat di dunia, entah di mana, di mana hidup itu bisa dijalani dengan aman atau sebaliknya, bunuh diri sama sekali.

Menyerahnya Jepang pada sekutu tanpa syarat setelah Nagasaki dan Hiroshima dibom atom oleh sekutu membuat beberapa serdadunya melakukan harakiri untuk mempertahankan kehormatan. Salah satu dari serdadu yang melakukan harakiri tersebut adalah ayah dari Fuyuko dan Shimada. Hilangnya tulang punggung keluarga membuat ibu dari dua bersaudara itu bekerja keras di kedai kopi agar anaknya dapat menjalani hidup yang layak. Akan tetapi ibunya memutuskan bunuh diri dengan cara melepas keran gas penghangat untuk mempertahankan kehormatannya karena ia merasa bahwa tidak dapat memberi kehidupan yang layak kepada anak-anaknya. Ia terjerat dalam hubungan gelap dengan seorang pria. Fuyuko selamat dari percobaan bunuh diri itu, Shimada  juga selamat karena sedang tidak berada di rumah.

Karena janjinya kepada ibunya untuk menjadi kakak yang baik untuk adiknya, istri sekaligus ibu yang baik dan setia, Fuyuko dengan sisa semangatnya melanjutkan hidup bersama Shimada. Untuk memenuhi kebutuhan dan membiayai kuliah Shimada, ia bekerja di sebuah kedai kopi–mirip seperti yang dilakukan ibunya. Sementara Shimada bekerja di sebuah bar mesum untuk menyambung hidupnya, untuk mencari uang tambahan untuk biaya kuliah. Pertemuan Fuyuko dengan Hasan di tempat kerjanya mengubah semua. Ia merasa pria asing yang singgah dengan kondisi muram itu membutuhkan bantuannya untuk membangkitkan kembali gairah hidup yang kelak juga membuatnya berpikir untuk mengakhirinya.

Kecelakaan atau kebetulan dalam beberapa kejadian yang dikemas apik membuat cerita ini seolah mampu berbicara sendiri dengan kenyataan-kenyataannya. Talib, tokoh utama yang dikisahkan sebagai orang Indonesia yang tengah kuliah di Tokyo, Jepang. Ia tinggal dengan Shimada dalam satu pondokan. Mereka etiap paginya selalu membaca berita di koran, dan telah terbiasa berjumpa dengan topik berita bunuh diri. Mereka tidak jarang mengkritik para orang yang melakukan bunuh diri atas kekonyolonnya yang terkadang membuat orang lain terbunuh. Cara bunuh diri dengan terjun dari tingkat apartemen terkadang menimpa orang tak bersalah ikut mati bersama si pembunuh diri itu adalah salah satu yang mereka kritik. Tapi tiba-tiba Shimada menghilang saat ada peristiwa pembunuhan yang menarik untuk dibicarakan, yang ternyata pelaku pembunuhan tersebut adalah kakak kandung Shimada, Fuyuko. Kebetulan-kebetulan yang kelak menuntun pembacaan terhadap novel ini menjadi tambah menarik.

Fuyuko yang jatuh dalam genggaman Hasan,  merelakan dirinya. Tapi hal ini tidak diamini oleh Shimada. Karena ia melihat kejadian itu mirip dengan kejadian yang menimpa ibunya dulu yang membuat ibunya merasa kehilangan harga diri dan memutuskan untuk bunuh diri. Ternyata Hasan telah memiliki seorang istri dan dua orang anak di Singapura. Kisah percintaan yang awalnya romantis itu berubah menjadi kemelut karena Fuyuko merasa dikhianati. Fuyuko melarikan diri. Pergi ke pacingko (tempat judi, yang lebih akrab kita kenal ding-dong), hingga pergi ke klub malam di mana ia bertemu dengan Fukuda, dan mengantarkan mereka dalam pergumulan yang tidak semestinya terjadi.

Di tempat pacingko ia juga bertemu dengan seorang nihilis bernama Yun, seorang mahasiswa kumal yang menyerupai pengemis dengan sifatnya yang sinis. Yun ia  mengharapkan belas kasih Fuyuko tetapi ia ternyata hanya berpura-pura. Ia hanya ingin menggagahi Fuyuko karena perempuan itu membangkitkan kebenciannya terhadap kalangan kelas atas yang tercerminkan dari sosok Fuyuko, yang saat itu berdandan mewah karena barang-barang pembelian Hasan.

Kebersihan hati Fuyuko mengoyak Yun. Ia merasa telah memperkosa dirinya sendiri. Perbuatan menggagahi orang yang dibencinya telah sering dilakukan berkat bantuan pacarnya, Tamura, yang secara kebetulan adalah tetangga apartemen Hasan. Di setiap perbuatannya itu, wanita yang diperkosanya selalu mengumpat dan mengolok-oloknya. Hal itulah yang selalu dinantikannya sebagai kepuasan baginya. Ia menganggap jatuhnya harga diri mereka dapat membuatnya senang. Tidak seperti yang disangka, Fuyuko dengan sejuk memaafkan, dan memaklumi tindakan Yun karena ia tahu apa yang dirasakan oleh pemuda yang tengah terganggu jiwanya itu. Yun yang merasa bersalah jatuh hati pada sosok Fuyuko, lalu ia memutuskan untuk bunuh diri karena merasa hidupnya sudah tidak layak dijalani.

Pertemuannya dengan Fukuda berlanjut pada sebuah liburan ke Atami. Fuyuko yang gamang karena mengetahui bahwa Hasan mengkhinatinya mencoba melepas beban dengan caranya sendiri. Di Atami, ia bersedia menjadi model lukisan Hasan, pada liburan itu pula ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, seperti yang ditulis dalam surat panjang yang ia mulai tulis sejak mengetahui kebenaran Hasan telah beristri dan beranak. Perasaannya yang masih mencintai Hasan membuatnya memutuskan kembali pada Hasan karena mengetahui pujaan hatinya itu tengah sakit.

Kembalinya Fuyuko kepada Hasan tidak dapat meredam konflik mereka berdua. Hasan terbakar api cemburu dan pertengkaran keduanya tidak terhindarkan. Di tengah percecokan yang teradi, Hasan menubruk Fuyoko yang saat menggenggam pisau dapur untuk menyiapkan makan malam. Karena kaget ,Hasan tertusuk dan mati.

Kasus itu membuat publik Jepang gempar, dan menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Istri Hasan menuntut Fuyuko untuk dihukum seumur hidup tetapi karena pembelaan massa, Fuyuko hanya dijatuhi tujuh tahun penjara. Kawan lamanya, Masako pun ikut serta dalam pembelaan kasus itu lewat tulisan di media massa.

Hilangnya Shimada dari apartemen karena ia tengah menangani masalah kakaknya tersebut. Setelah tiga bulan, ia kembali ke pondokan menemui sahabat Indonesianya, Talib, untuk menceritakan kisah kakaknya itu. Kisah Fuyuko ditulis dalam sebuah surat panjang dan surat itulah inti dari cerita novel ini.

Absurditas dalam novel ditunjukan pada pergulatan setiap tokoh untuk berjuang tetap hidup dalam keadaan semrawut pasca perang. Hidup yang dirasa tidak layak dijalani itu hanya bisa diselesaikan dengan bunuh diri, dan banyak orang Jepang mengakhiri hidupnya dengan cara itu. Peradaban Jepang yang sudah maju membuat orang-orang harus bekerja keras agar tidak terlindas dalam kelas masyarakat dan Nasjah Djamin menggambarkan kehidupan serta budaya Jepang dengan cukup detil. Jika Albert Camus empunya absurdisme melukiskan akibat perang dunia kedua dan kekejaman Jerman lewat novelnya Sampar, maka Nasjah Djamin menunjukkan hal itu melalui tokoh-tokohnya dalam Gairah untuk Hidup dan untuk Mati. Nasjah mencoba membangun motivasi untuk orang Indonesia lewat tokoh utama, Talib yang menjadi sobat Shimada.

Kurang lebih novel ini membicarakan persoalan filsafati hidup yang menurut Camus menjadi penting untuk dibicarakan, yakni mengenai bunuh diri, dan pemberontakan individu terhadap dalam pemikiran dan moral untuk menemukan nilai kemanusiaan dan kebenaran serta menentang nilai-nilai yang telah usang. Dalam novel ini pula ia banyak mencatut nama penulis, dramawan, penyair Jepang dan sedikit sejarah dunia kepenulisan Jepang yang dulunya didominasi perempuan. Tak luput pula, kecintaan Nasjah Djamin kepada dunia seni rupa dapat kita temukan pada kegemaran Fukuda terhadap Modigliani dan menganalogikan kecelakaannya dengan Fuyuko seperti kisah Modigliani dengan Jeanne Hebuterne. Serta banyak nama perupa hingga sastrawan dari berbagai penjuru dunia yang ia sebutkan.

Jika Perancis memiliki Albert Camus maka Indonesia memiliki Nasjah Djamin, hanya saja ia tidak membicarakan filsafat eksitensialis dengan esai-esai teoritis. Novel Gairah untuk Hidup dan Untuk Mati menurut saya lebih dahsyat dari novel-novel Camus yang berbicara mengenai absurditas seperti Orang Asing, Sampar, Mati Bahagia.

0 comments:

Post a Comment