Judul Buku: Tiga Puntung Rokok
Penulis: Nasjah Djamin
Penerbit: Pantja Simpati
Cetakan: Pertama, 1985
Tebal: vi + 229
“Untuk bisa hidup orang harus mengorbankan orang lain. Yang kuat memakan si lemah, yang di atas menginjak yang di bawah, yang kaya memeras si miskin” – Nasjah Djamin
Seperti novel-novel sebelumnya, Nasjah Djamin kembali menghadirkan petualangan hidup seseorang yang dilindas roda kehidupan. Tiga Puntung Rokok mengisahkan tentang pensiunan PNS yang mencoba merantau kembali ke Jakarta untuk mencari kebutuhan materil, dan untuk menumbuhkan kembali rasa percaya dirinya yang mulai redup karena memasuki usia senja.
Kehidupan PNS pada tahun 1980 digambarkan menderita. Gaji yang diterima hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga selama satu-dua minggu. Selebihnya, mereka harus mencari lubang, dari lubang satu ke lubang yang lain. Yang dapat bertahan adalah mereka yang melakukan korupsi, dan hal itu dianggap lumrah karena telah menjadi budaya. Masri, tokoh utama yang seroang pensiunan PNS dalam Tiga Puntung Rokok memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Di masa mudanya ia pernah bergulat di ibukota, bekerja dalam pembuatan film, menulis sastra –sempat ia menulis novel anak-anakan pesanan Inpres– dan melukis. Putrinya Retno, mengatakan ia gombal karena tak dapat menepati janjinya untuk membelikan motor bebek. Resah akan predikat tersebut maka ia berpikir untuk kembali ke ladang uang, Ibukota, untuk sekadar kembali melukis atau kembali ke pekerjaanya di masa lalu –mengikuti produksi film. Dan kebetulan datang surat dari kawan lamanya, Darso, yang memintanya ke Jakarta untuk membantunya mengerjakan proyek film.
Masri berangkat ke Jakarta bersama Nung, gadis yang kebetulan bertemu dengannya di kolam pemancingan dan kebetulan bertemu kembali di bis jursan Yogyakarta-Jakarta. Nung mengingatkannya kembali pada pujaan hatinya dulu, Marsinah, yang dipanggil In. Pertemuan dengan gadis jelmaan In itu berlanjut, dan terjadilah pergumulan antara keduanya. Di lain pihak, Darso dan timnya sibuk membuat anggaran dan menunggu kedatangan Masri.
Sementara itu, pembuatan film itu tidak bisa belangsung dengan lancar jika tanpa bantuan cukong, dan Pak Rambi yang bertindak sebagai produser sibuk mencari gadis untuk sajen cukong, dan bertemulah mereka dengan Mira.
Masri yang dulunya memutuskan meninggalkan Jakarta karena tidak kuat batinnya yang dicabik-cabik melihat manusia menjual manusia, mengemis, menjilat untuk mencapai kedudukan, dan mendapatkan harta kini dihadapkan dengan hal yang serupa. Begitulah aturan main ibukota: siapa yang tega melumat orang lain ialah yang dapat bertahan hidup. Tak tahan melihat kelakuan Darso dan yang lain, ia kabur ke Taman Seni Ancol untuk bertemu kawan lama, dan secara kebetulan ia bertemu dengan Marsinah yang saat itu ia tidak dapat menandainya. Pembawaan pujaan hatinya itu telah berubah, berbeda dengan dulu saat mereka masih di Surabaya, kini In tampil mewah. Sialnya, pertemuan itu terjadi saat Masri terpelosok dan betisnya kram.
Kebetulan-kebetulan digambarkan dengan apik, seolah tokoh-tokohnya itu memang dipertemukan secara sengaja, seperti pertemuannya dengan redaksi perusahaan peneribatan novelnya dulu yang mengabarkan bahwa novelnya dicetak ulang dan Masri mendapatkan rejeki nomplok yang cukup besar dan pertemuannya dengan In membuat dirinya menerima pesanan lukisan yang jumlahnya cukup banyak dengan tawaran harga tinggi. Kecelakaan-kecelakaan itulah yang nantinya menjadi bahan renungan Masri.
Gadis bernama Nunung yang ditidurinya ternyata adalah anak dari Marsinah, dan anak itulah yang dulu saat kecil menciumi Masri dan tidak ingin lepas dari pangkuannya. Kenyataan yang tidak disangka-sangka itu membuat nurani Masri kacau, ia sudah meniduri ibu beserta anaknya. Karena tidak kuat memikirkannya, ia memutuskan kabur dan kembali ke Ancol. Kebetulan itu kembali terjadi, ia bertemu dengan Tumi, istri sahnya yang minggat belasan tahun yang lalu. Tumi adalah gadis dari persinggahan yang dinikahi Masri karena permintaanya yang naif, ingin merasakan nikah secara resmi meski hanya satu hari. Tumi yang bernasib seperti In dan Nung –menjual segala-segalanya pada lelaki berpunya untuk mempertahankan hidup– kini kaya raya dan memiliki emas berlimpah, dan Masri diberi beberapa batangan emas itu sebagai tanda persahabatan. Sementara, cukong yang akan mendanai proyek film Darso ternyata adalah Sutiyo, tetangga kampungnya. Lalu, Mira yang disajikan sebagai sajen adalah keponakan Sutiyo yang telah lama tidak diketahui kabarnya. Ia adalah anak dari kakak kandungnya. Kenyataan itu membuat Sutiyo membutuhkan bantuan Masri untuk menyelesaikan permasalahan rumit yang disebabkan kecelakaan tersebut.
Seperti biasa, Nasjah Djamin menyelipkan wawasannya mengenai dunia seni rupa dalam novel ini. Termasuk pandangannya mengenai lukisan tubuh wanita yang sampai saat itu tidak diterima oleh penikmat seni Indonesia. Tokoh-tokoh yang disebutnya antara lain, Mattise, Gauguin, Soedarso, Affandi, sampai Amrus yang dilibatkan secara langsung dalam cerita sebagai kawan lama Masri.
Sifat manusia yang rela melakukan apapun demi mencapai tujuannya digambarkan lewat tokoh Darso, Rambi, dan teman-teman filmnya yang lain. Penulis pun menyindir buku-buku inpres lewat cara pandang Masri, dan keadaan hidup PNS yang digambarkan lewat hidup tokoh utamanya. Idealisme yang dulunya dijaga oleh Masri pun luruh karena menghadapi persoalan hidup yang pelik, dan proses itu digambarkan oleh penulis lewat kecelakaan-kecelakaan yang akan direlakan begitu saja oleh pembaca.
0 comments:
Post a Comment