Dimuat pertama kali pada 2020
Dua abad yang lalu, tidak jauh dari Jatinangor, Patih Parakan Muncang diancam diseret ke Batavia jika ia masih bermalas-malasan; seorang mandor di Sumedang dikenai hukuman cambuk dengan rotan dan lima tahun kerja paksa karena lalai mengawasi perkebunan kolonial.
Kedua catatan mengenai kaitan kemalasan dan orang Sunda itu ditulis oleh F. de Haan dalam Priangan, De Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsh Bestuur tot 1811, jilid III cetakan tahun 1912.
Tujuh puluh tahun setelah kolonial Belanda hengkang dari Indonesia, di Jatinangor, seorang meener kulit coklat berkata, “orang Sunda teh malas karena alamnya yang sejuk.” Sebagai orang Sunda, ia menunjuk hidungnya sendiri.
Tahun lalu ketika saya pulang kampung ke Blitar, saya mendengar pernyataan serupa. Kali ini keluar dari mulut orang Jawa. Sahabat kecil saya berkata, “lebih untung mempekerjakan orang Jawa karena mereka lebih tekun daripada orang Sunda yang pemalas”. Konon, ia percaya bahwa trah Majapahit atau Mataram Kuno lah yang memiliki takdir sebagai pemegang kuasa di Nusantara. Pernyataan rasis, ahistoris, serta chauvinistik yang keluar secara serampangan itu perlu ditinjau.
Stigma rasial itu tidak lahir dari kenyataan bahwa orang Sunda bersifat malas, tapi lebih rumit daripada itu.
Malas dan Mitos Cinta Kerja
Penyair Latin Virgil menulis sebuah ode yang memuja waktu luang, ia seolah merayakan kemalasan dan menyebutnya sebagai hadiah dari para Dewa, “O Melibae Deus nobis haec etia fecit” (Tuhan telah memberikan kita hari-hari yang menyenangkan ini).
Terjemahan mana suka dari baris puisi itu mungkin kurang tepat, tapi baris itulah yang dikutip oleh menantu Karl Marx, Paul Lafargue dalam bukunya The Right to Be Lazy (1883) yang menyorot kemalasan sebagai sebuah wacana konstruksi kapitalisme untuk menciptakan ilusi cinta bekerja. Senada dengan itu, Syed Hussein Alatas dalam The Myth of Lazy Native (1977) juga menerangkan bahwa mitos kemalasan pribumi adalah wacana yang lahir dari rahim kolonialisme.
Ilmuwan Malaysia yang lahir di Bogor itu mengatakan bahwa sedikit sekali catatan mengenai kemalasan di Jawa pada abad ke-16 dan ke-17—wilayah Priangan secara geografis adalah bagian dari Pulau Jawa.
Mitos malas berkembang pada abad selanjutnya beriringan dengan penolakan bumiputera yang dikerahkan bekerja dalam program tanam paksa van Den Bosch. Alatas (1977) mengatakan bahwa kolonial menyebut para pribumi yang bekerja serta bekeringat untuk mereka adalah orang-orang yang membosankan, lamban, dan kekanak-kanakan. Van Den Bosch menyamakan kecerdasan bumiputera dewasa setara dengan perkembangan intelektual anak-anak Belanda yang berumur 12-13 tahun.
Menurut Lombard (2005) malas sebagai suatu bawaan lahir merupakan wacana yang dikembangkan oleh kolonial dalam mencari pembenaran terhadap aksi sepihak yang mereka lakukan. Wacana itu juga bertujuan untuk membentuk gagasan rasis terhadap bumiputera. Citra lancung bumiputera yang malas itu dibangun kolonial untuk melancarkan agendanya.
Agenda Kolonial dalam Tanam Paksa
Perang Jawa (1825—1830) membuat kas pemerintah kolonial terkuras. Kebijakan yang dibuat sebagai solusi untuk masalah itu adalah Cultuurstelsel. Pemerintah kolonial mengerahkan masyarakat Hindia—Belanda untuk menanami lahan mereka dengan tanaman komoditas ekspor.
Cultuurstelsel atau tanam paksa diyakini oleh para tokoh politik konservatif di Amsterdam sebagai solusi jitu untuk membangkitkan ekonomi tanah jajahan serta dapat menyumbangkan keuntungan bagi Belanda.
Pada 1791 ketika Revolusi Prancis masih segar di ingatan, seorang tokoh liberal, Dirk van Hogendrop mendesak pemerintah Belanda untuk menghapus kerja rodi, perbudakan, serta tanam paksa di tanah koloni. Ia memberi saran pada pemerintah Belanda untuk mengenalkan masyarakat jajahan terhadap sistem kerja dan perdagangan bebas.
Sebelas tahun kemudian, Gubernur Jendral Hindia—Belanda, Johannes Siber menyanggah gagasan itu. Ia mengajukan enam alasan dalam surat yang bertitimangsa 19 Mei 1802. Alasan pertama yang ia ajukan mengatakan, “orang Jawa terlalu malas dan lamban untuk memperoleh lebih dari yang mereka butuhkan untuk penghidupan”.
Dalam upaya mendorong perkembangan tanam paksa serta kerja rodi, pemerintah kolonial melakukan pembinaan masyarakat. Salah satu caranya dengan menertibkan sistem penanggalan dan waktu di Nusantara. Sebelumnya, penanda pergantian hari adalah pukulan bedug magrib saat malam turun, bukan pada tengah malam.
Peralihan penanda waktu dari wujudnya yang sakral menjadi profan pun menimbulkan masalah. Ia berpengaruh secara langsung terhadap denyut kehidupan masyarakat bumiputera, khususnya soal ketepatan waktu yang berkaitan dengan kerja. Pengaruh dari pembaratan waktu itu tidak berdampak baik bagi bumiputera. Pemerintah kolonial hendak memasung masyarakat jajahan dengan jerat perbudakan modern menggunakan waktu.
Dalam kacamata kolonial pemberadaban bumiputera bertujuan untuk menyiapkan tanah jajahan menuju negara modern. Beriringan dengan itu, ribuan hektar tanah di Priangan dibuka jadi perkebunan. Pemerintah kolonial mengubah tanah Priangan menjadi perkebunan tanaman komersial. Betapa pentingnya tanam paksa bagi pemerintah Belanda dapat dilihat dari hukuman yang diberlakukan kepada pejabat petinggi setempat yang dianggap menghambat.
Malas Sebagai Perlawanan Terhadap Kolonialisme
Mereka yang menghambat agenda kolonial adalah para pemalas. Kata luij (malas) dan ijverloos (seenaknya, tidak tekun) dapat ditemukan dalam arsip-arsip yang menyebut para mandor Sunda yang bertugas mengawasi perkebunan-perkebunan VOC. Perkebunan itu ditanami nila, lada, dan kopi. Anjuran penanaman yang telah ditetapkan oleh pemerintah kolonial tidak dapat dilawan. Pada 1791 dua Raden dibuang selama satu tahun ke Pulau Edam, Kepulauan Seribu karena tidak mengindahkan perintah penanaman kopi. Tabiat itu dicap sebagai kemalasan.
Hasil panen perkebunan di Priangan telah ditetapkan oleh pemerintah. Jika tidak memuaskan, mandor akan dihukum. Pada tahun 1706 salah satu mandor Jawa bernama Ombol dibuang ke Pulau Onrust karena “malas”, ia tidak cukup berhasil memaksa masyarakat di daerahnya untuk menghasilkan panen yang dihendaki oleh pemerintah.
Dalam tanam paksa para bumiputera dipaksa untuk giat. Jika didapati tidak sesuai dengan bayangan ideal kerja paksa menurut kolonial, para pemimpin di daerah tersebut lah yang bertanggung jawab. Pada tahun 1747, Bupati Cibalagung dihukum karena “ketidaktekunan“-nya (ijverloosheijt). Pada 1788 seorang patih Parakan Muncang, yang disinggung diawal, diancam diseret ke Batavia jika ia tetap “bermalas-malasan” (zodra hij weder den luijaart speelt).
Catatan hukuman tersebut adalah akar dari stigma kemalasan orang Sunda.
Penggambaran orang Sunda atau Jawa sebagai pemalas memiliki fungsi penting dari ideologi kolonial. Malas adalah delik dari setiap hukuman yang dijatuhkan kepada mereka yang tidak menguntungkan serta menghambat agenda pemerintah kolonial. Tidak mengindahkan aturan, tidak dapat memenuhi hasil panen seperti yang telah ditetapkan, ketidaktekunan dalam bekerja, lalai dalam mengawasi perkebunan, serta segala masalah yang menghambat produksi tanam paksa dianggap sebagai perlawanan terhadap kolonial.
Alih-alih melihat masalah tersebut secara struktural, pemerintah kolonial memilih untuk melihatnya sebagai masalah yang homogen dan negatif, karena malas. Sayed Hussein Alatas (1977) mengatakan bahwa sifat malas orang Jawa merupakan perlawanan terhadap kolonialisme.
Senada dengan itu, Eduard Douwes Dekker, seorang humanis Belanda, menggunakan nama pena Multatuli menulis antitesis terhadap pandangan sebangsanya di dalam novel besarnya Max Havelaar (1860) mengatakan bahwa sikap acuh tak acuh bumiputera terhadap perintah tanam paksa pemerintah kolonial adalah perlawanan diam-diam.
Mengapa Orang Sunda Malas
Citra malas dibuat oleh kolonial untuk membuat masyarakat Nusantara menyesuaikan diri dengan model kerja Eropa. Penyesuaian waktu, serta segala hal yang berkaitan dengan agenda untuk mengadabkan para pribumi dalam sudut pandang kolonial bertujuan untuk pengerahan kerja paksa.
Beberapa catatan yang berasal dari Priangan mengenai kemalasan orang Sunda itu adalah akar dari stigma rasial yang sampai saat ini masih melekat terhadap orang Sunda. Dengan alasan apa pun, sifat manusia sama sekali tidak berhubungan dengan etnis atau ras.
Stigma rasial mengenai orang Sunda yang bersifat pemalas adalah wacana buatan kolonial untuk mengarahkan bumiputera terhadap ilusi cinta kerja paksa. Wacana kemalasan pribumi penting bagi kolonial untuk melancarkan Ideologinya. Predikat itu sama sekali tidak berkaitan dengan bentang alam atau alasan tidak masuk akal lainnya.
Bagi orang-orang yang masih melekatkan predikat pemalas terhadap orang Sunda atau Jawa, itu berarti ia melakukan generalisasi yang brutal. Gagasan ini lahir karena kurangnya empati, berkembang dari prasangka yang sombong. Secara tidak sadar pula, stigma rasial itu keluar dari orang-orang yang pikirannya didominasi oleh gagasan kolonial Eropa Barat.
0 comments:
Post a Comment