Affandi Pelukis dari Mata Nasjah Djamin

 



Judul: Affandi Pelukis
Penulis: Nasjah Djamin
Penerbit: Nyala
Tahun: September, 2017
Cetakan: Pertama
Tebal: 97 halaman
ISBN: 978-602-60855-6-6

Atas keramaian dunia dan cedera,
Lagak lahir dan kelancungan cipta,
Kau memaling dan memuja
Dan gelap-tertutup jadi terbuka!

(Chairil Anwar, Kepada Pelukis Affandi, 1946)

Si “buruk rupa” Bambang Sukrasana itu dicatet dan dapat tempat dalam sajak-sajak Chairil, "Kepada Pelukis Affandi"’ dan "Betina"-nya Affandi". Si Binantang Jalang itu seolah sangat kagum dengan kesetiaan Sukrasana terhadap kerja dan pencapainnya memindahkan Taman Sriwedari milik Dewi Sri itu ke bumi. Dan gelap tertutup jadi terbuka, Affandi “tukang gambar” menempati “menara tinggi”, tempat yang diinginkan juga oleh Chairil seperti yang ia tulis, Dan tangan ‘kan kaku, menulis berhenti / kecemasan derita, kecemasan mimpi; / berilah aku tempat di menara tinggi, / di mana kau sendiri meninggi //  Tidak hanya Chairil, Nasjah Djamin pun membuat sebuah novel pendek berjudul Affandi Pelukis untuk pembaca yang seumur dengan Agus, tokoh utama dalam cerita, yakni anak-anak.

Dalam novel pendek ini dikisahkan bahwa ibu guru memuji gambar Agus dan berharap anak didiknya itu kelak menjadi pelukis seterkenal Affandi. Agus yang duduk di bangku kelas VI Sekolah Dasar menjadi penasaran karena ibu gurunya menyebut Affandi mendapatkan gelar doktor dari Universitas Singapura. Ia heran. Bagaimana seorang pelukis bisa mengobati orang lain? Agus tidak paham dengan gelar doktor (Honoris Clausa) yang dimaksudkan oleh ibu gurunya itu berbeda dengan dokter sebagai profesi mengobati orang. Penasarannya inilah yang membuatnya bertanya kepada orang tuanya tentang Affandi dan bagaimana bisa seorang pelukis menjadi dokter?

Agus dan keluarganya tinggal di kampung, sekitar 10 km di utara Yogyakarta, di sebuah desa di Kaliurang, lereng gunung Merapi. Orangtuanya adalah seorang petani. Mereka tidak bisa menjawab rasa penasaran Agus karena tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Orang tua Agus menyarankan anaknya itu untuk bertanya kepada pamannya yang kuliah di Fakultas Sastra, UGM. Paman Agus tidak jarang mampir ke rumah Agus jika pulang kampung. Secara kebetulan, pada kepulangannya yang terakhir, pamannya membawa lukisan Agus untuk diikutsertakan dalam sebuah lomba gambar majalah anak-anak di Jakarta.

Pamannya itu pulang dengan membawa kabar gembira, setelah sekian lama Agus menunggu dengan resah. Lukisan Agus berhasil menjadi juara dalam perlombaan tersebut. Ia mendapat hadiah dan tabungan senilai lima ribu rupiah. Rasa penasarannya terjawab segera setelah pertanyaan yang mengganggu pikirannya tersebut dijawab pamannya. Mengetahui keponakannya sangat penasaran dengan sosok Affandi, Agus diajaknya jalan-jalan ke museum Affandi.

Pada hari Minggu paman menepati janjinya untuk membawa Agus turun mengunjungi museum Affandi. Ternyata museum sedang tutup, dan Affandi tidak ada di rumah. Akan tetapi Agus tidak kecewa, ia cukup puas dapat mengunjungi rumah seorang pelukis besar yang didongengkan gurunya di kelas itu. Ia pun heran dengan segala kondisi rumah Affandi yang tak lazim sebagai rumah seorang yang besar, hal yang membuat Agus merasa janggal adalah tempat duduk untuk para tamu yang terbuat dari bamboo, dan tempat duduk itulah yang disinggahi orang-orang penting. Kesederhanaan hidup Affandi inilah yang menjadi bahan obrolan antara Agus dan pamannya ketika pulang dari museum.

Agus dan pamannya tidak langsung kembali ke desa tetapi menemui kawan paman, mbak Juminten. Sebuah naskah cerita tentang Affandi untuk anak-anak tengah digarap oleh mbak Juminten. Paman menyarankan Agus untuk membaca naskah tersebut untuk meredakan rasa penasarannya serta untuk mengukur apakah naskah tersebut mampu dicerna baik oleh anak-anak seperti yang dikehendaki oleh penulisnya. Naskah tersebut berjudul “Pelukis Besar Affandi”.

Pelukis Besar Affandi

Affandi berasal dari latar belakang keluarga dengan kondisi keadaan ekonomi yang kurang dari cukup tapi tidak juga miskin. Ayahnya yang bernama Kusuma bekerja sebagai seorang juru gambar peta di perkebunan tebu milik Belanda. Affandi lahir dari Rahim istri kedua ayahnya, Radjem. Bersama keenam saudara kandungnya yang lain, Affandi hidup rukun dengan keluarganya. Dengan keadaan ekonomi yang tidak cukup berada, pak Kusumah ingin menyekolahkan semua anaknya ke sekolah Belanda.

Selazimnya anak-anak lain, suka adu jotos, bermain, dan juga nakal adalah Affandi. Suatu saat desanya terkena sebuah wabah cacar, dan mengakibatkan empat saudaranya meninggal. Bencana itu menyisakan Affandi dengan dua orang kakaknya: Abu Bakar dan Ir. Sabur, dan bekas luka dari cacar itu membuat mukanya menjadi buruk rupa. Kondisi inilah yang membuat Affandi menganggap dirinya sebagai Sukrasana dalam cerita wayang yang buruk rupa.

Kegemarannya menggambar sudah kelihatan pada masa kanak-kanaknya itu, ia lebih suka menggambar daripada belajar materi yang diterimanya di sekolah. Ayahnya yang ingin anak-anaknya menjadi orang yang lebih tinggi martabatnya dari dirinya tidak suka dengan kebiasaan Affandi itu, yang terkadang membuatnya lupa untuk belajar.

Setelah selesai belajar di HIS Cirebon, Affandi melanjutkan sekolah ke MULO Bandung. Pada masa inilah kegemarannya dalam menggambar semakin bersinar, ia makin sering berlatih dan mengasah kemampuannya dalam menggambar. Setelah dari MULO ia ingin melanjutkan sekolah ke Belanda untuk mempelajari lebih lanjut mengenai seni lukis. Saat itu, belum ada sekolah kesenian di Indonesia.

Ayahnya meninggal pada tahun 1929, kakaknya Ir. Sabur menggantikan peran ayahnya tersebut dalam menopang keberlanjutan hidup Affandi. Keinganannya untuk melanjutkan sekolah gambar ke Belanda ia utarakan kepada kakaknya. Ir. Sabur menolak untuk membiayai jika Affandi mengambil kekhususan tersebut, ia ingin adiknya menjadi insinyur. Maklum, saat itu profesi ahli gambar belum menjadi sesuatu yang menjanjikan bahkan sama sekali tidak pernah dibicarakan oleh para-para masyarakat di negeri Hindia-Belanda; tidak seperti hari ini, orang tua tidak terlalu ragu untuk menerima lamaran seorang pelukis atau seniman.

Pada tahun 1933 Affandi menikah dengan Maryati. Ia bekerja sebagai tukang reklame di bioskop ‘Elite’ dekat alun-alun Bandung untuk memenuhi kebutuhan hidup, terkadang juga bekerja sebagai tukang tiket di bioskop tersebut. Dari sinilah hidupnya yang sangat sederhana digantungkan.Affandi berlangganan susu untuk Kartika, anaknya yang baru lahir. Saban hari tukang pengantar susu langganannya mengamati Affandi melukis, yang biasanya dikerjakan oleh Affandi di halaman rumah. Terkadang tukang pengantar susu itu sampai lupa untuk mengantarkan susu ke tempat lain karena keasyikkan melihat Affandi berjibaku dengan cat dan kanvas. Iba dengan keadaan si tukang susu itu, Affandi bertanya apakah ia suka menggambar? Tukang susu itu segera menjelaskan bahwa ia sangat gemar menggambar. Di rumahnya ia sudah menyimpan beberapa hasil karyanya. Mendengar jawaban yang semangat tersebut Affandi memberinya sisa cat yang selesai ia pakai kepada si tukang susu itu. Keesokan harinya, tukang susu itu tidak mengantarkan susu lagi ke rumah Affandi. Tukang yang mengantar sudah berganti. Suatu hari tukang susu itu datang lagi dan membawa hasil lukisannya, ia melukisnyua menggunakan sisa cat pemberian Affandi. Inilah perjumpaan pertama kedua maestro lukis yang kelak menjadi tonggak sejarah seni lukis modern Indonesia. Tukang susu itu bernama Soedarso.

Saat masih di Bandung kebetulan Basuki Abdullah baru saja pulang dari Belanda setelah menyelesaikan sekolah gambarnya. Karena ingin mendapatkan seorang yang setidaknya bisa dijadikan lawan tukar pikir atau pembimbing dalam perjalanan kesenian, Affandi menemuinya. Sesampainya di depan rumah Basuki Abdullah, Affandi disambut oleh pembantu. Ia dipersilakan untuk menunggu sebentar sementara pembantu itu menanyakan apakah tuannya dapat ditemui. Di luar Affandi mendengar Basuki bertanya kepada pembantunya apakah orang yang ingin menemuinya tersebut dapat berbahasa Belanda? Percakapan yang terdengar sampai luar pintu itu membuat Affandi kecewa, padahal Affandi bisa berbahasa Belanda berkat pendidikannya di sekolah Belanda. Ia pun diam-diam meninggalkan rumah itu dan meneruskan belajar menggambar secara otodidak.

Affandi bergabung dalam Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI) yang dipelopori oleh S. Sudjojono yang saat itu sebagai sekretaris dan diketuai oleh Agus Djajasuminta. PERSAGI yang menjadi tempat berkumpulya pelukis-pelukis Indonesia, yang tidak diakui sebagai pelukis oleh orang-orang kulit putih. Bangsa Belanda hanya mengakui, Basuki Abdullah sebagai pelukis yang ulung. Sementara pelukis-pelukis Indonesia lainnya dianggap hanya “Inlander” saja yang tidak mengerti seni. (hlm.67) Di tempat inilah Affandi dapat belajar banyak dari pengalamannya bergulat bersama dengan para pelukis Indonesia lainnya yang mencoba menemukan corak seni rupa Indonesia di bawah bimbingan S. Sudjojono.

Pada tahun 1940 dalam pameran tunggalnya di Jakarta, lukisan Affandi dibeli oleh Safei Sumarja, seorang juru gambar yang baru kembali dari Eropa setelah lulus di Akademi Seni Lukis. Dari sinilah semangat dan tekad Affandi untuk terus menggambar semakin mantap. Safei Sumarja juga mengungkapkan bahwa Affandi adalah pelukis yang mempunyai harapan. Kelak perkataan Safei Sumarja yang hampir mirip sebuah ramalan itu tepat dan sama sekali tidak salah.

Banyaknya pelukis dan pemahat yang ahli di Bali membuat Affandi tertarik untuk mengunjunginnya. Di Bali juga tinggal pelukis-pelukis asing semisal, Le Mayeur, pelukis asal Belgia, tinggal dan melukis di pantai Sanur, atau Bonnet dari Swiss yang tinggal di Ubud. Banyak sekali fenomena yang cocok sebagai bahan lukisan Affandi di pulau dewata itu. Ia melukis penari-penari Bali, perahu-perahu di pantai, adu jago, dlsb. Ketika Perang Pasifik pecah ia kembali lagi ke Jakarta.

Pada masa Pendudukan Jepang Affandi bergabung dalam Pusat Tenaga Rakyat di bawah pimpinan empat serangkai (Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, K.H. Mas Mansoer). Di sini Soekarno dkk. menggembleng rasa kebangsaan para seniman dan aktivis kebudayaan lainnya. Berkumpul para sastrawan, komponis, dan pelukis di dalamnya. Saat itu Jepang menghendaki para pelukis-pelukis untuk membuat pameran yang menunjukkan kegiatan “romusha”, dengan penggambaran pekerja-pekera sukarela yang sigap , tegap, dan kuat. Tapi Affandi menolak  untuk melukis seperti kemauan Jepang karena apa yang dikehendaki oleh Jepang tidak sesuai dengan kenyataan yang ia lihat. Ia melukiskan para romusha itu kurus kering, lapar, compang-camping, dan terlihat penyakitan. Sikapnya inilah yang membuat Jepang marah-marah.

Affandi dan para pelukis lainnya kembali ke Jogja bersamaan dengan dipindahkannya sementara ibukota republik ke Yogyakarta—setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta balatentara Belanda datang lagi untuk menguasai republik dan Jakarta menjadi tidak aman. Di Yogyakarta ia mendirikan organisasi Seniman Masyarakat yang kelak dilebur jadi “Seniman Indonesia Muda” (SIM). Di situ berkumpul para pelukis seperti S. Sudjodjono, Soedarso, Oesman Effendi, Soediardjo, Hariyadi, dan S. Soparto Sanggarnya terletak di Alun-alun Utara dekat bioskop Soboharsono.

Ia pun turun ke medan pertempuran. Di Karawang ia melukiskan lukisan “Berunding”. Lukisan empat orang laskar di rumah desa sedang meneliti peta. Memakai topi pandan dan ikat merah putih. Lukisan ini dibeli oleh Presiden Soekarno, dengan cara bayaran mencicil. Lukisan lain ialah “Mata-mata Musuh”. Seorang mata-mata Belanda tertangkap di Kerawang oleh laskar. (h.76) 

Ketika Agresi Militer Belanda II meletus di Yogyakarta, para pelukis dan seniman mengungsi ke Jakarta. Affandi tidak ikut rombongan tersebut yang berangkat awal itu, ia baru menyusul ke Jakarta setelahnya. Bersama pelukis dan seniman lainnya ia ditampung oleh Pak Said di  garasi Taman Siswa. Di situlah ia bertemu kelak ia akan menggambar sosok Chairil.

Pada tahun 1946 Chairil menulis sajak "Kepada Pelukis Affandi" dan ""Betina"-nya Affandi". Nasjah Djamin dalam bukuya yang lain, Hari-hari Akhir Si Penyair pernah mengisahkan bahwa suatu hari Chairil meminta dilukis oleh Affandi. Sebetulnya Affandi jarang mau untuk melukis orang lain yang tidak mengetuk perasaannya, dan pula ia tidak pernah melukis orang besar selain Chairil. Namun melihat Chairil, Affandi merasakan hal yang sama dengan dirinya: seorang compang-camping yang betul-betul menyerahkan hidupnya untuk berkesenian. Affandi kesusahan untuk menyelesaikan lukisan tersebut karena sifat Chairil yang susah sekali untuk diam. Lukisan itu diselesaikan Affandi ketika Chairil wafat, dari CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) ia tidak ikut ke prosesi pemakaman Si Binatang Jalang tetapi pulang ke Taman Siswa untuk menyelesaikan gambar Chairil karena Affandi takut akan kehilangan ke-chairilannya Chairil jika lukisan itu tidak segera diselesaikan.

Beberapa waktu setelah Penyerahan Kedaulatan oleh Belanda dan Indonesia menjadi “Republik Indonesia Serikat” bulan Desember 1949, ia mendapatkan beasiswa untuk belajar di Shantiniketan Art School, India.  (hlm.83) Tapi ia ditolak oleh Shantiniketanuniversitas seni yang didirikan oleh Rabindranath Tagore—setelah melihat karya-karya Affandi pihak universitas menganggap bahwa ia sudah bisa melukis. Uang beasiswa itu digunakan oleh Affandi keliling India dan Eropa untuk melukis dan pameran.

Sejak saat itu perjalanan Affandi dalam dunia melukis menjadi mudah.. Tapi pencapainya yang gilang-gemilang itu ia tidak mengubah sikapnya untuk tetap rendah hati.Meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan formal di sekolah gambar, ia sempat diangkat mengajar siswa-siswi di Akademi Seni Rupa Indonesia (sekarang ISI). Ia juga sempat mengembara ke Amerika Serikat untuk pameran dan melukis. Dalam pengembaraanya di Amerika itu ia diundang menjadi profesor di Ohio State University selama satu tahun. Begitulah mbak Juminten mengisahkan tentang pelukis Affandi.

Setelah membaca berulang kali naskah mbak Juminten, Agus diajak mengunjungi lagi museum Affandi. Kebetulan hari itu sang pelukis besar tersebut ada di rumah. Agus pun melihat lukisan-lukisan Affandi yang ada di dalam museum.Setelah puas melihat-lihat ia ngobrol dengan Affandi yang ternyata sudah akrab dengan paman dan mbak Jum. Affandi mendengar cita-cita agus yang juga ingin menjadi pelukis. Ia menasihati Agus untuk terus belajar dan tidak menyerah. Sosok yang konon rendah hati dan bergelar doktor (HC) itu telah disaksikan sendiri oleh Agus, semua yang telah Agus dengar dari penuturan guru dan pamannya dan dari yang ia baca dari naskah mbak Juminten bukan sekadar isapan jempol. Meminjam baris puisi Chairil lagi, Affandi adalah seorang pelukis yang menempati menara tinggi!











0 comments:

Post a Comment