Sekelumit Nyanyian Sunda - Nasjah Djamin

 Judul buku: Sekelumit Nyanyian Sunda
Penulis: Nasjah Djamin
Penerbit: Balai Pustaka
Tahun terbit: 1962

“Takut itu menguasai dan memerintah, karena takut dibunuh orang lain! Semuanya karena takut, segala kepahlawanan, keganasan pengkhianatan dalam hidup ini!” –Nasjah Djamin

Kritik H.B Jassin  pada tahun 1965 terhadap naskah “Titik-titik Hitam”  dianggap oleh Nasjah Djamin telah membunyikan lonceng kematian terhadap dirinya, seperti yang ia tulis dalam Proses Kreatif-nya (1984) yang disunting oleh Pamusuk Eneste. Esai Jassin tersebut dimuat di Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, dengan judul “Segi-segi Negatif dalam Kesusastraan Indonesia”. Nasjah Djamin dianggap satu nafas dengan kultur Utuy Tatang Sontani, antiagama dan amoral. Padahal sebelumnya, dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai IV (1964) HB Jassin mengangkat naskah ini dan menyarankan kepada Balai Pustaka untuk mengimbangi terbitannya dengan kumpulan sajak, cerita pendek, dan drama-drama yang bermutu seperti ini. Ia menyarankan penerbit, tidak hanya Balai Pustaka, untuk tidak hanya pasif menunggu naskah, tapi memasang kuping dan mata untuk mencari dan meminta naskah-naskah yang belum pernah diterbitkan yang sempat muncul dalam koran, majalah, atau radio. Kritik Jassin tersebut mungkin didengar oleh redaksi yang melandasi diterbitkannya kumpulan naskah drama ini oleh Balai Pustaka. Namun, satu tahun kemudian pemikiran HB Jassin berubah.

Nasjah Djamin saat itu tidak menjawab kritik Jassin, pun ia tidak menyampaikan pembelaannya di surat kabar mana pun! Ia tidak berusaha membersihkan namanya dari pelbagai tuduhan yang pada masa tersebut yang dialamatkan terhadapnya, semisal ia juga dicap sebagai anggota Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Padahal Nasjah Djamin tidak pernah bergabung dengan kelompok tersebut, ia hanya kebetulan pernah mengikuti rapat LKN sekali dan menolak ajakan Gayus Siagiaan untuk masuk ke dalam kelompok tersebut. Terhadap tudahan ini, Nasjah pun memilih diam.



Naskah “Sekelumit Nyanyian Sunda” terbit di Majalah Budaya Th. VIII No. 3/4/5, Maret/April/Mei 1959 bersamaan dengan tiga pemenang drama tahun 1958 lainnya, Motinggo Busye dengan “Malam Djahanam” dan Misbach Yusra Bisran dengan “Bung Besar”. “Sekelumit Nyanyian Sunda”  merupakan drama dua babak yang penulisannya didasarkan pada cerita pendek Nasjah dengan judul yang sama dan terbit dalam majalah Budaya bulan Mei 1954. Sedangkan naskah drama “Titik-titik Hitam” juga dimuat dalam majalah Budaya pada Th. V No. 10/11, Oktober/November 1956. Cerita-cerita drama ini kemungkinan lahir ketika Nasjah menjadi bagian dari  “seniman Malioboro” membentuk kelompok drama teater Indonesia yang mengadakan pementasan drama, deklamasi, seni tari, musik. Di masa kegiatan pentas inilah kemungkinan besar masa lahirnya kedua cerita drama ini.

Sekelumit Nyanyian Sunda yang berisi dua naskah drama Nasjah Djamin: Titik-titik Hitam dan Sekelumit Nyanyian Sunda.

Titik-titik Hitam

Naskah drama Titik-titik Hitam bercerita tentang bagaimana penyintas revolusi fisik bernama Adang yang mengalami cacat akibat perang tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai laki-laki terhadap seorang istri. Ia terkena mortir di bagian vitalnya. Cacatnya itulah yang pada akhirnya menimbulkan sebuah permasalah pelik yang melibatkan adik kandungnya, Trisno dan Hartati, istrinya. Cinta segitiga antara Trisno, Hartati, dan Rahayu (adik kandung Hartati) terjadi karena Adang adalah seorang impoten.

Adang dikisahkan sebagai orang yang mencoba berkali-kali melakukan percobaan bunuh diri karena putus asa. Di masa keputusasaan tersebut, Hartati menjadi penyelamatnya dari keputusasaan. Ia berjanji untuk menemani Adang seumur hidup tanpa peduli apa pun yang akan terjadi. Dan keduanya menikah. Pilihan yang diambil Hartati dengan menimbang segala konsekuensi logis yang mungkin menimpa sebuah kehidupan rumah tangga ini telah mengantarkannya pada sebuah kerumitan hidup. Janjinya untuk tidak pernah meninggalkan Adang berubah menjadi ketegangan batin ketika pada akhirnya ia mengetahui  Adang ternyata tidak dapat memberinya keturunan, bahkan tidak bisa menyentuh Hartati sama sekali.

Adang yang merasa hanya dapat memenuhi kebahagiaan istrinya dengan materiil akhirnya bekerja keras tanpa henti, ia sering pergi ke luar kota dengan jangka waktu yang tidak sebentar karena urusan pekerjaannya tersebut. Hidup Adang adalah untuk kerja dan kerja. Trisno adik kandung Adang tidak tega melihat kesepian hebat yang dirasakan oleh Hartati, yang mengalami kesepian luar dalam.  Ia pun terperangkap dalam kehitaman, ia gelap mata, berhubungan badan dengan Hartati, dan mengkhianati kakaknya sendiri.

Hubungan terlarang itu berlangsung agak lama, sehingga pada suatu saat Trisno meminta Hartati untuk menceraikan kakaknya dan menikah dengannya dan ia akan mengakui perbuatannya tersebut dengan jujur pada keluarganya dan keluarga Hartati. Permintaan Trisno tersebut dipicu oleh Hartati karena ia menanyakan kepada Trisno, apakah Trisno serius mencintainya? Namun, ternyata Hartati tidak dapat memenuhi permintaan Trisno karena keterikatan janjinya terhadap Adang. Di sisi lain, ia menuntut keseriusan cinta Adang. Masalah tersebut membaut percecokan antara Trisno dan Hartati. Hartati yang emosi melimpahkan keraguan Trisno untuk menjawab pertanyaanya tersebut kepada adiknya, Rahayu. Ia menuduh Rahayu telah mendapatkan hati Trisno dan keduanya dituduh bermain di belakang Hartati. Mendengar hal tersebut, Ayu (panggilan Rahayu) yang juga serumah dengan Hartati marah besar dan memutuskan untuk minggat. Secara tidak langsung ia juga diusir oleh Hartati. Trisno yang tidak menyangka kelakuan Hartati tersebut memutuskan untuk pergi karena tidak tahan. Hal tersebutlah yang membuat Hartati merana dan jatuh sakit, ia ingin bunuh diri. Bagian ketika Hartati tergolek sakit menjadi awal cerita ini.

Adang kebingungan. Ia yang selama ini melanjutkan hidup hidup karena motivasi Hartati tiba-tiba tidak memiliki alasan untuk bertahan lagi karena keputusan istrinya untuk mengakhiri hidup. Dalam keadaan yang menegangkan karena Hartati mengalami kritis, ibu Hartati menjadi titik tumpu di mana Adang menyalahkan penyebab sakitnya Hartati. Karena dulu ia adalah orang yang pernah juga melarang pernikahan Adang dan Hartati. Ibu Hartati dalam cerita ini terlibat sebagai tokoh yang berada dalam posisi pendukung yang memperlihatkan semua watak para tokoh-tokoh dalam cerita.

Dokter Gun yang sudah lama menjadi dokter keluarga Hartati tengah berjuang selama sepekan penuh merawat Hartati yang sudah menyerahkan hidupnya untuk direnggut oleh maut, dan ia mengatakan bahwa Hartati, yang tidak mau ditemui oleh ibu atau pun suaminya itu, selalu memanggil nama Ayu. Karena hal tersebut Adang mengirimkan telegram kepada Rahayu (Ayu) dan Trisno, kedua orang yang telah minggat karena pertengkaran dengan Hartati tersebut, untuk pulang menjumpai kakaknya.

Hartati telah benar-benar menyerah dan berniat membawa titik-titik hitam dalam dirinya pada maut sebagai bentuk pertanggungjawaban karena ia merasa sangat bersalah. Dalam cerita yang hanya berlangsung satu malam itu pula Adang baru mengetahui bahwa Hartati telah mengandung selama satu bulan dari dr. Gun. Ia sangat kaget karena tidak mungkin benih dalam rahim Hartati itu adalah anaknya karena dia memang tidak memiliki kemungkinan untuk memiliki anak. Dan konflik antara Trisno, Rahayu, Adang, serta Hartati itu terlerai ketika Hartati meninggal dunia.

Tokoh-tokoh dalam naskah ini memiliki titik-titik hitamnya masing-masing. Sebagaimana rupa manusia yang wajar kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Setiap mereka menyimpan dusta, berlindung di balik kebohongan dan bertopeng kemunafikan. Perselingkuhan, perlarian diri dari kenyataan hidup, dan titik-titik hitam lainnya dalam manusia dalam naskah ini diolah dengan ketegangan-ketegangan yang mengejutkan. Titik-titik Hitam menghadirkan lanskap yang sangat wajar dari kegelisahan hati manusia.

Sekelumit Nyanyian Sunda

Nasjah Djamin adalah seorang terlibat langsung dalam revolusi menghadapi agresi militer Belanda yang kala itu mencoba mengusai kembali republik setelah kemerdekaan disuarakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Ia bersama para seniman di bawah komando S. Soedjojono melakukan longmars ke Jawa Barat, membuat poster-poster perjuangan untuk memupuk semangat tentara republik. Dalam Hari-hari Akhir si Penyair dikisahkan bahwa ia pernah menetap di kaki gunung Galunggung bersama pasukan gerilya lainnya. .

Naskah drama Sekelumit Nyanyian Sunda mengisahkan pergulatan batin seorang pejuang yang berasal dari Sumatra Utara semasa revolusi bernama Imran yang mungkin adalah alter-ego dari Nasjah Djamin. Pergulatan tersebut adalah mempertanyakan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang hancur akibat perang. Imran yang menjadi tokoh yang dipertemukan dengan seorang serdadu NICA—seorang Indonesia—yang terluka parah dan ingin mengakhiri hidupnya di sebuah gubuk keluarga di bukit dekat Danau Leles. Nilai kemanusiaan antar sesama manusia timbul ketika ketegangan antarkeduanya luluh akibat dialog sentimentil yang timbul secara insidentil pula. Berikut kronologis cerita drama dua babak ini:

Ketika sudah dekat dari Danau Leles, Imran dan Enda sudah mendengar suara letusan senjata api. Mereka berdua mempunyai tugas untuk menyampaikan sebuah surat kepada komando tentara republik yang bermakas di Leles, Garut, Jawa Barat. Di tengah perjalanan tersebut malaria yang diderita oleh Imran kumat. Ia ingin menyerah untuk melanjutkan perjalanan, ia mengigau parah, meracau soal nilai moral dalam dirinya yang mengalami pergulatan tentang perang. Tangannya yang sudah membunuh 12 serdadu Belanda tersebut tiba-tiba merasa bersalah, ia seolah merasa saling-bunuh adalah sebuah hal yang tidak bermoral.

Enda bingung melihat keraguan kawannya tersebut untuk meneruskan perjalanan, ia menyadari bahwa badan Imran ternyata panas tinggi. Lalu, ia turun untuk mencari sebuah tempat istirahat untuk temannya tersebut agar ia dapat meninggalkannya untuk mencari obat. Enda akhirnya menghampiri sebuah rumah yang menjadi sumber suara kecapi dan nyayian seorang gadis yang mendendangkan lagu Sunda. Ia memutuskan untuk menitipan Imran kepada gadis yang tinggal di dalam rumah tersebut, dan ia pergi ke bawah untuk mencari pil kina.

Di dalam rumah si gadis tersebut tergolek tubuh serdadu NICA yang mengalami luka parah, kaki kirinya hancur akibat bom. Serdadu yang sedang sekarat tersebut ditemukan di dekat rumah keluarga si gadis, dan ia memutuskan untuk merawatnya. Si Bapak dan adiknya turun ke Leles memanggil patroli Belanda untuk menjemput serdadu sekarat tersebut. Awalnya Imran tidak tahu bahwa ada seorang serdadu NICA di rumah yang ditumpanginya tersebut, akan tetapi raung kesakitan serdadu tersebut membuatnya sadar bahwa di rumah itu ada orang lain, padahal sebelumnya si gadis mengatakan ia sedang sendirian.

Merasa ditipu, Imran masuk dan ingin mengetahui sosok lain yang ada di dalam rumah tersebut. Dalam keadaan waspada dan melawan demam akibat malariannya ia masuk mengendap dengan pistol yang siaga di tangan. Kecurigaannya terjawab, sosok lain di rumah tersebut adalah serdadu NICA yang masih menggunakan seragam loreng Belanda. Imran merasa dijebak oleh si gadis, ia pun mencuragai bahwa gadis tersebut adalah mata-mata Belanda pula.

Ketegangan terjadi dalam suasana yang masuk dalam babak kedua drama ini. Cerita akhirnya berfokus pada pergulatan psikologis para tokoh. Si serdadu NICA itu mengatakan bahwa ia bergabung dengan Belanda karena menuntut balas darah atas kematian orang tuanya yang dulu dicuragai sebagai mata-mata Beanda karena teman ayah si serdadu sering didatangi oleh kawan lamanya, Willem yang seorang Belanda. Setelah kedatangan Willem, markas para pemuda yang tengah berjuang selalu digempur oleh patroli Belanda. Akhirnya pada suatu malam, rumah keluarga tersebut didatangi oleh para pemuda yang mencurigai bahwa keluarga tersebut adalah mata-mata Belanda dan mencoba mengkhianati republik. Ayah, Ibu, dan adik serdadu dibunuh. Ia selamat dalam malam penghancuran itu. Si serdadu merasa kecewa dan dendam, padahal keluarganya ikut berjuang untuk republik, ayahnya ikut bertempur, adik kecilnya bernama Nita pun menjadi relawan Palang Merah Indonesia.

Imran yang sebelumnya telah mengalami pergulatan jiwa karena perang dibawa dalam keadaan kontemplatif menghadapi keadaan tersebut. Ditambah ketika si serdadu minta diambil nyawanya karena merasa bersalah dan berkhianat. Pun ia sebelumnya tidak tahu bahwa ternyata ayah dan adik si gadis yang ditumpangi tersebut memanggil patroli Belanda. Ketika mendengar sayup-sayup suara truk patroli Belanda, ia semakin curiga bahwa si gadis menjebaknnya. Terjadi ketegangan hebat kala itu. Si gadis yang mencoba menjelaskan bahwa ia menolong si serdadu karena rasa kemanusiaan tanpa memandang siapa yang ia tolong, hampir diledakkan kepalanya oleh Imran.

Ketegangan itu luruh karena ketegaran si gadis menghadapi maut, ia menantang pistol yang ditodongkan Imran terhadapnya, seolah meyakinkan bahwa ia bukanlah pengkhianat. Ketika truk semakin mendekat, Imran akhirnya memutuskan untuk mengikuti pinta si gadis untuk bersembunyi di balik bukit, sekaligus memutuskan bahwa ia mempercayai bahwa si gadis tidak berkhianat. Dan si gadis memang tidak berkhianat kepada kemanusiaan.

0 comments:

Post a Comment