"Ya, apa boleh buat, tai kambing niscaya dibuat."
Dalam babak sejarah sastra modern Indonesia, Remy Sylado (23761) bertengger bersama nama-nama lain yang membuat sastra menjadi wahana main-main: untuk mengkritik tentara, orang tua kolot, senioritas banal, kelakuan elite yang ugal-ugalan, bahkan menggoreng semua isu soal rezim Orde Baru lewat bait terlampau konyol untuk dicerna.
Bersama majalah Aktuil ia mengibarkan panji mBeling, mengkritik rezim dan juga skena sastra Indonesia yang kala itu terlewat serius dan membosankan. Meski nafasnya takpanjang, corak puisi semacam ini sempat diakui dan membikin gaduh. Contohnya, kumpulan puisi Yudhistira ANM Massardi yang memenangkan penghargaan Dewan Kesenian Jakarta dianggap taklayak oleh para begawan sastra Indonesia kala itu.
Selain sebagai penyair mBeling, sejarah juga mencatatnya sebagai jurnalis musik, editor, ahli bahasa, musikus, penulis cerpen dan novel, dramawan, dan banyak lagi peran yang dihidupinya, banyak pula nama pena yang dipakai pria dengan nama lahir Yapi Tambayong ini.
Masa mudanya yang tumbuh bersama dengan arah kebudayaan Demokrasi Terpimpin yang membatasi ekspresi diri berbau kolonial Barat, membuatnya merasa kehidupan monolitik tidak akan mendorong kesenian dan kebudayaan melaju. Saat masa otoriter Orde Baru, justru ketika keran budaya Barat terbuka, puisi mBeling terbit. Bukan berarti bentuk sastra semacam itu tidak bisa muncul pada periode sebelumnya, tapi bentuk itu adalah suatu siasat. Mereka mengambil jalan kritik banyolan yang kadang memancing pitam.
*
Remy yang telah beranjak tua mengingat masa-masa itu begitu detail. Lima tahun yang lalu kami bertemu di suatu sesi, di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjajaran, Jatinangor. Saya mendampinginya ke atas panggung penerimaan mahasiswa baru.
Tak satu pun patah katanya yang meromantisasi pencapaian atau menyebut karyanya, yg mulai seukuran saku sampai sebesar bantal. Ia mengajak mahasiswa mengobrol keindonesiaan lewat teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tapi tentu saja dia membawakannya tidak seperti Penataran P4. Materi wicaranya kala itu merupakan perulangan, saya lantas bisa menebak kuncinya: hanya ada satu kata bahasa Indonesia dalam teks proklamasi.
Remy kala itu menunjukkan kemampuannya sebagai munsyi serta pembaca naskah sejarah yang tekun, alih-alih kakek-kakek legenda sastra. Lewat obrolan ringan berdasar pada sejarah bahasa, ia mengajak semua orang untuk merefleksikan fenomena globalisasi dalam artinya yang sangat luas. Bahasa Indonesia terbentuk dari cangkokan silang-saling budaya global, berutang banyak pada Melayu, Cina, Arab, Belanda, Latin, Portugis, Prancis dll.
Selama ini, saya menemukan watak sudut pandang global pada sosok Remy Sylado. Dia adalah satu-satunya yang fasih menjelaskan asal-usul nada pentatonik Jawa yang dikenal slendro. Katanya, nama itu diambil dari dinasti Mataram Kuno yang masyhur, Syailendra. Suatu kali raja yang bosan ingin dihibur dengan seni bebunyian. Satu kelompok pemetik kecapi pun didatangkan langsung dari Cina.
Selain mampu menjelaskan genealogi atas suatu hal, perlu kita ingat Remy muda yang sering menyuarakan hal paling dekat dan menyayat. Kisah anak kecil ditinggal bapaknya, seorang bromocorah masuk penjara; teriakan pekerja seks hingga curhatan seorang medioker yang frustasi tak mampu beli kondom. Bagi sebagian mahasiswa sastra Indonesia, album Orexas (Organisasi Sex Bebas) merupakan titik kulminasi eksperimen lirik— penggambaran yang kadar ndakik-ndakiknya lebih sedikit: manifestasi cerita kenakalan remaja frustasi Orde Baru.
Lebih mundur lagi, sewajarnya anak muda, ingatannya pada masa Sukarno cenderung biner. Ia adalah seorang yang merasa masa gemilangnya gerakan Kiri sebagai periode yang traumatis. Tapi ketika saya menanyainya soal kelompok musik Angkatan Darat yang dinaungi Urusan Moril, badan khusus yang mengurus soal indoktrinasi, dia menjawab lebih adil.
Ingatannya bahkan terasa masih segar, ia menceritakan marching band Angkatan Darat Kodam Siliwangi seolah baru melihatnya tampil kemarin. Ketika saya susulkan pertanyaan lain, apakah ia tahu peran Urusan Moril dalam mengakuisisi kelompok kebudayaan Kiri dan kemudian bertanggung jawab atas serangkaian propaganda militer lewat musik maupun budaya, ia menjawab: "Saya tahu."
Obrolan kami pada siang itu, kemudian berlanjut soal Kodam Siliwangi dan musik. Dia bilang, "saya beberapa kali menulis soal Uril, tapi tidak jadi fokus utama, mungkin di beberapa artikel." Saya penasaran apakah ia masih mengingatnya, tapi kemudian tersadar bahwa pertanyaan lebih spesifik akan sia-sia.
*
Saya selalu bertitip pesan kepada seorang kawan yang tekun membaca Aktuil, agar berkabar jika menemukan tulisan Remy soal Uril. Bertahun kemudian, kira-kira saat kabar Remy sakit beredar, artikel itu ketemu. Bukan dari majalah Aktuil, tapi majalah Top tahun 1976 koleksi digital Museum Musik Indonesia, Malang.
Remy pernah menulis musisi Kroncong Tony Sandjaja, yang bolak-balik Cirebon-Bandung lantaran merangkap jabatan sebagai personil band Kodam Siliwangi, di bawah Uril. Dia menuliskan kisah Tony dengan ironis, khususnya soal "kerja bakti"-nya untuk Kodam Siliwangi yang tak sepadan.
Sedangkan kalau dia menyanyi keroncong seperti acara-acara yang sering diselanggarakan Kodam Siliwangi, paling-paling dia hanya mendapat 3 sampai 5 ribu perak. Berapa jumlah penonton yang datang ke sana? Ternyata pol-polan hanya 25 orang. Padahal untuk pertunjukan ini, Tonny sudah berpayah-payah datang dari Cirebon ke Bandung. Ya, apa boleh buat, tai kambing niscaya dibuat.
Satu lagi ingatan saya soal Remy yang paling terbenam di kepala. Suatu kali, mesin propaganda Orde Baru alias Angkatan Darat meminta Remy membuat orkestra atau pertunjukan untuk mengalahkan popularitas Guruh Sukarno Putra agar orang-orang tidak teringat-ingat Bung Karno (Desukarnoisasi). Pendekar mBeling ini kelimpungan menjawab lalu sejurus kemudian berterus terang, "Izinkan saya untuk bekerja sama dengan Willibrordus Surendra Broto (WS. Rendra)."
Muka pejabat militer seketika ketekuk-melecur, Remy mengingatnya. Sebab, Rendra masih dicekal si penguasa perang kala itu.
Ketika Remy sudah pergi kini, saya telat menyadari satu hal. Dia pun, seperti beberapa aktivis budaya maupun seniman pasca-65, frustasi karena ditipu Orde Baru dan dibawa dalam keadaan yang terus menerus dalam ancaman "teror negara". Tapi mereka menyiasatinya dengan ironis, dengan metafora tengil dan dengan mBeling: nakal tapi berakal.
0 comments:
Post a Comment